Jakarta, CNN Indonesia -- Belum genap dua bulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan kawasan Kalijodo, kini giliran warga kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, yang harus merasakan penggusuran pada Senin (11/4) lalu.
Setibanya CNNIndonesia.com di kawasan penggusuran, tanah yang sebelumnya diramaikan dengan berbagai tenda jualan, Kamis kemarin hanya tersisa puing-puing reruntuhan. Sekitar enam buah ekskavator masih terus beroperasi meratakan tanah di kawasan Pasar Ikan tersebut.
Berselang beberapa menit kemudian, dua perahu yang berada tak jauh dari lokasi penggusuran disambangi. Dua perahu kecil itu tersambung di sekitar bantaran sungai dan dipenuhi oleh barang-barang rumah tangga. Perahu itu menjadi 'rumah' Ruswan (68), salah seorang warga yang terkena dampak penggusuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ruswan merupakan warga asli Pasar Ikan. Dia mengaku telah tinggal di sana sejak lahir hingga saat ini memiliki lima orang cucu.
Marah, merana. Rasanya pegal hati. Itu yang coba diungkapkan Ruswan melihat anak cucunya harus tinggal di atas perahu yang selama ini ia gunakan untuk mencari ikan. Ruswan beserta keluarga sudah tiga hari tinggal di bantaran sungai di atas perahu.
Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah menyiapkan beberapa rusun seperti Rusun Rawa Bebek, Rusun Marunda, Rusun Kapuk Muara, dan Rusun Cakung Barat untuk menampung warga-warga yang terkena penggusuran. Alih-alih menempati rusun yang telah disiapkan oleh pemprov, sejumlah warga malah tinggal di atas perahu mereka. Sekitar 200 orang yang terdiri dari sekitar 40 keluarga terdampak penggusuran sekarang menjadi 'manusia perahu'.
"Kita sudah lihat rusun-rusunnya, tapi itu jauh dari tempat kita mencari ikan di sini. Dari (rusun) Marunda harus dua kali transport ke sini. Belum juga melaut eh sudah lelah kita-kita," tutur Ruswan.
Selain fasilitas yang minim, biaya sewa rusun yang harus dikeluarkan juga menjadi alasan mengapa mereka masih betah tinggal di atas perahu walaupun sudah ada peringatan dari satuan keamanan dan pemerintah untuk segera mengosongkan area Pasar Ikan. Anak-anak pun tak luput terkena dampak penggusuran.
Beberapa ada yang harus putus sekolah karena harus berpindah tempat, yang lainnya enggan meneruskan sekolah karena situasi kondisi lingkungan mereka yang tidak memadai.
Arfian (14), merupakan cucu terbesar Ruswan. Sudah tiga hari ia tidak sekolah karena tertekan melihat rumah beserta keluarganya yang terkena penggusuran. Semenjak penggusuran, Arfian menemani kakeknya melaut mengantarkan para pekerja kapal ikan dan minyak yang ingin menyebrang dari dermaga ke tengah laut.
Acho (53), seorang warga yang juga penduduk asli Pasar Ikan yang terkena dampak penggusuran. Kini ia mengungsi diperahu bapak Ruswan karena dirinya beserta istri dan keempat anaknya tidak memiliki perahu.
Acho dan keluarga merupakan salah satu warga yang tidak bisa menempati Rusun yang disediakan Pemprov karena tempat tinggalnya tidak terdaftar dalam relokasi bangunan. Keduanya merantau dari Sulawesi Selatan ke Jakarta sekitar tujuh tahun lalu. Alih-alih mendapatkan nasib baik, kini mereka terdampar mengungsi karena belum tau harus pindah kemana dengan jangka waktu yang sempit itu.
"Saya ngungsi ke Pak Ruswan. Kebanyakan kami juga numpang di perahu orang lain atau rumah-rumah warga. Alhamdulillah kalau makan ada warga yang bantu. Kalau tidur, kami tidurnya harus duduk karena di perahu berdempetan," ujar Acho.
Mereka semua mengeluhkan sikap pemerintah yang seakan membuang mereka. Menurut mereka, sebaiknya sebelum melakukan penggusuran pemerintah mencermati dampak kepada nasib mereka.
"Kita berasa dibuang. Sampah saja dibagus-bagusin tempatnya oleh pemerintah. Kita, manusia sekaligus warga Jakarta, kok tidak ditempatin dengan layak oleh mereka," ujar Ruswan.
"Ahok bilang kita nyuri tanah negara, lah memang kita ini siapa? Kita juga warga negara," tambah Acho, warga lainnya.
Hingga sejauh ini para 'manusia perahu' tersebut belum mengetahui sampai kapan mereka akan bertahan di bantaran sungai seperti ini. Beberapa ada yang berencana mengungsi ke rumah sanak saudara, sementara lainnya masih mencoba bertahan meminta kejelasan nasib mereka dari Pemerintah DKI Jakarta.
(obs)