Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consultation (SMRC) Djayadhi Hanan menilai beberapa persoalan hukum yang dihadapi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sudah mempengaruhi ranah pemilih.
"Saya melihat dan menilai, sudah terjadi pembelahan yang tajam antara yang pro dan anti Ahok," kata Djayadhi di Kantor SMRC, Jakarta, Minggu (17/4).
Djayadhi berkata, persoalan hukum di Rumah Sakit Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta, akan menunjukan pada kelompok anti Ahok, bahwa sang gubernur tidak sebersih apa yang diperlihatkan. Sementara, lanjutnya, kelompok pendukung atau teman Ahok, akan memandang bahwa dalam kasus Sumber Waras dan reklamasi menjadi bukti ketegasan sang gubernur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi jangan lupa ada kelompok pemilih yang masih cukup dingin dan belum memutuskan. Karena itu, penting untuk mengelola isu ini, bagi anti maupun pendukung Ahok," kata dia.
Djayadhi mencontohkan, jika Ahok sedikit saja terindikasi terlibat maka pendukungnya akan kesulitan mengelola dan meyakinkan para pemilih yang masih belum menentukan pilihan. Meski demikian, Djayadhi menerangkan kelompok anti Ahok juga masih memiliki kelemahan. Mereka, disebutnya belum memiliki preferensi pemimpin yang jelas.
"Lawan Ahok belum jelas, maju dari partai belum ada. Dari independen, belum ada selain Ahok," ucapnya.
Djayadhi menambahkan, untuk partai politik seperti PDI Perjuangan dan Gerindra, juga harus mendapatkan sosok yang dapat menyaingi Ahok. Hal itu, kata dia, melalui sosok yang berkinerja baik dan pengalaman, serta lebih santun.
"Dulu yang bisa itu Ridwan Kamil, Tri Rismaharini dan Ganjar Pranowo," kata Djayadhi.
Pada kasus Sumber Waras, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya perbedaan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lahan di sekitar RS Sumber Waras di Jalan Tomang Utara dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa. BPK menaksir ada kerugian negara sebanyak Rp191 miliar.
Dalam laporannya, BPK meminta Ahok membatalkan pembelian. Sementara kasus reklamasi, banyak pihak mendesak agar proyek itu dihentikan. Penghentian dilakukan karena ada tujuh dugaan pelanggaran hukum Pemprov DKI Jakarta dalam menerbitkan izin reklamasi Teluk Jakarta.
Misalnya, izin diterbitkan tanpa ada Peraturan Daerah Recana Zonasi dan bertentangan dengan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pemprov DKI Jakarta juga dinilai tak berkonsultasi dengan kementerian terkait.
(pit)