Jakarta, CNN Indonesia -- Warga korban penggusuran Pasar Ikan, Luar Batang merasa diintimidasi oleh aparat selama proses penertiban yang berlangsung pada 11 April, pekan lalu.
"Hal itu dilakukan oleh 4.200 personel padahal jumlah kami hanya 300. Mereka menyerbu. Ada apa dengan TNI? Ada apa dengan polisi dibalik penggusuran ini?" kata salah satu perwakilan warga Pasar Ikan Upi Yunita saat bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, di gedung DPRD, Senin (18/4).
Upi bercerita ketika penggusuran tersebut terjadi, warga diserang. "Kami dikeroyok beberapa Polisi Wanita," tutur Upi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat yang sama juga diutarakan Tim Advokasi masyarakat Luar Batang Sunandi. "Itu lebih dahsyat dari pada tsunami," kata Sunandi.
Sunandi menjelaskan kepemilikan tanah di Pasar Ikan, Luara Batang itu tumpang tindih dan dibiarkan oleh Pemrov DKI.
Padahal, menurut Upi, dia bersama keluarganya telah tinggal di Pasar Ikan sejak lebih dari 60 tahun yang lalu. Upi juga mengklaim telah membayar pajak mulai dari tahun 1991. Upi juga mempertanyakan kenapa surat kepemilikanya tidak diakui Pemerintah Daerah DKI Jakarta. "Surat itu belaku untuk mengajukan pinjaman ke bank," ujar Upi.
Upi menuding banyak warga yang pindah ke Rusunawa, juga karena ada intimidasi dari aparat dan pemerintah.
Untuk itu, warga Pasar Ikan menuntut kembali janji Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam kontrak politiknya ketika hendak mencalonkan diri pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Dalam kontrak politik tersebut, Jokowi dan Ahok berjanji rumah yang kumuh tidak digusur melainkan ditata dengan baik.
Pertemuan warga dan wakil rakyat tersebut membuat DPRD DKI Jakarta akan berkirim surat ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menangguhkan penertiban warga Pasar Ikan, Luar Batang.
(obs)