Catatan Detail Polisi soal Kematian Siyono

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Rabu, 20 Apr 2016 17:06 WIB
Rikwanto tidak menepis hasil autopsi PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM yang menyebut Siyono tewas karena jantungnya tertusuk patahan tulang rusuk.
Juru bicara Polri, Komisaris Besar Rikwanto tidak menepis hasil autopsi PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM yang menyebut Siyono tewas karena jantungnya tertusuk patahan tulang rusuk. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Polri memberikan penjelasan yang lebih rinci soal peristiwa yang menewaskan terduga teroris Siyono. Siyono tewas pada Sabtu 12 Maret lalu ketika menjalani pemeriksaan Detasemen Khusus 88 Antiteror. Kematian Siyono ini menimbulkan reaksi masyarakat hingga Pimpinan Pusat Muhammadiyah memfasilitasi autopsi jenazah warga Klaten itu.

Menurut juru bicara Polri, Komisaris Besar Rikwanto, Rabu (20/4), pada mulanya Siyono dibawa tim Densus untuk menunjukkan tempat persembunyian senjata api kelompoknya. Siyono dibawa menggunakan mobil ke daerah Wonogiri, di mana tempat senjata itu diduga disembunyikan. Namun, ternyata dia tidak bisa menunjukkan tempat tersebut.

Karena itu, kemudian Siyono dibawa kembali ke pos petugas. "Dan dalam perjalanan terjadi perlawanan dari Siyono dan menyebabkan Siyono meninggal dunia," kata Rikwanto.
Pertengkaran terjadi di jalur Klaten-Yogyakarta melewati pabrik susu SGM, ujarnya. Di sana, Siyono mulai menyikut petugas sehingga terjadi perkelahian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Rikwanto, Siyono mampu memberikan perlawanan karena dia tak diborgol. Alasan polisi tak memborgolnya karena menilai Siyono bersikap kooperatif. Hal ini yang kini dipermasalahkan karena melanggar prosedur operasi standar dan melawan kode etik Polri.

"Kebetulan anggota yang berkelahi ini satu karateka dan bisa menguasai. Dia sempat kena pukul duluan, kena cakar, cekik dan sopir kena tendang. Mobil menabrak trotoar," kata Rikwanto.

Rikwanto tidak menepis hasil autopsi PP Muhammadiyah bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menyebut Siyono tewas karena jantungnya tertusuk patahan tulang rusuk. Malah, Rikwanto menjelaskan saat terjadi pergumulan itu, memang ada tekanan di bagian dada Siyono.
Dalam perkelahian, polisi menyudutkan Siyono dan menjatuhkannya di lantai bagian tengah mobil.

“Saat itu, dia memang duduk di jok tengah sebelah kiri dengan pengawalan petugas di sebelah kanan. Sementara seorang petugas lainnya mengemudikan mobil,” kata dia.

Polisi menekan Siyono di bagian dada agar tidak melawan dan tetap berada di posisinya. Di saat itu juga kepalanya terbentur bagian pintu mobil. Menurut Rikwanto, Siyono terus mencekik dan mencakar polisi pada titik ini.

"Itulah yang menyebabkan rusuknya patah. Namun belum meninggal dan dibawa ke RS Bayangkara," kata Rikwanto. Dia juga mengatakan rumah sakit tersebut sangat mudah dijangkau dari lokasi kejadian.

"Satu jalur, itu dekat di Jogja, cuma 15 menit. Saya dulu Kapolres Klaten jadi tahu jalurnya dekat," ujarnya.
Ketika itu, lanjut Rikwanto, polisi berniat untuk mengautopsi jenazah sehingga tidak langsung memulangkannya. Jika tidak berniat untuk mengautopsi, jenazah bisa langsung dipulangkan ke kediamannya di Cawas, Klaten.

Namun, saat itu keluarga meminta agar Siyono tidak diautopsi. Polisi, dengan demikian, hanya membuat visum et repertum dan CT scan yang menyimpulkan dia tewas akibat benturan di kepala.

Neo Jamaah Islamiyah

Selain menjelaskan soal peristiwa tersebut, Rikwanto juga menjelaskan soal latar belakang dan dugaan keterlibatan Siyono dengan kelompok teroris. Pria kelahiran 1982 ini bekerja sebagai petani dan tinggal di Dukuh Brengkungan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten.

Berdasarkan penyelidikan dan keterangan saksi, keterlibatannya dengan kelompok teroris Neo Jamaah Islamiyah diduga sudah dimulai sejak dia berbaiat kepada Ustadz U alias M pada 2001 lalu. Dia diduga terlibat dalam hibah senjata api pada 2008 dari teroris Dulmatin.

Pada Mei 2014, polisi menangkap sembilan tersangka di Pamanukan, Klaten dan Semarang. Salah satu di antara tersangka itu adalah pria berinisial J yang menjabat sebagai Qoid Bithonah atau pimpinan daerah.

Setelah peristiwa itu, para teroris memutuskan untuk mengangkat Siyono sebagai pengganti J. "Tugas pokoknya melakukan pengamanan personel agar tidak ditangkap polisi dan mengamankan aset organisasi yaitu senjata api dan bahan peledak," kata Rikwanto.

Siyono dinilai rekan-rekannya memiliki rekam jejak yang bagus karena loyal terhadap kelompoknya. Selain itu, dia sering ditugaskan memimpin kegiatan di "Kodimah Barat maupun Timur."
Setelah itu, Siyono menggelar rapat konsolidasi dengan para anggota yang tersisa termasuk tersangka B alias K yang kini sudah ditangkap. Saat itu, Siyono memberikan instruksi untuk menghindari penangkapan polisi dan menginventarisir aset serta anggota yang masih bisa dihubungi.

Pada Agustus 2014, dia memerintahkan tersangka T alias A, yang juga sudah ditangkap, untuk menyerahkan senjata berupa dua pucuk pistol, magazen, dan pelurunya dengan alasan tersangka tersebut sudah tidak aman.

Berdasarkan keterangan B, kata Rikwanto, Siyono juga menerima satu amplop nama-nama anggota kelompok teroris yang akan dibuatkan kartu tanda penduduk palsu dan empat amplop berisi uang santunan untuk jaringan.

Siyono sendiri baru ditangkap pada 8 Maret, empat hari sebelum dia meninggal dunia. Berbekal hasil penyelidikan tersebut, polisi berniat mengorek informasi dari pria beralias Afif alias Asri itu. (yul)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER