Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan malu dengan pengadilan rakyat internasional (IPT) 1965 di Belanda. Menurutnya, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia bisa dilakukan di negeri sendiri.
"Masak sampai ada pengadilan di Belanda. Menurut saya ini memalukan! Kita bikin di sini. Siapa yang mau diadili," ujar Luhut di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (21/4).
Dalam penyelesaian Tragedi 1965 dan kasus HAM lainnya, dia berharap masyarakat tidak mudah dikendalikan oleh negara lain. Luhut mengatakan, pemerintah akan membuka persoalan pelanggaran HAM secara terbuka dan adil, tanpa didikte pihak luar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya berharap kita jangan 'digodok' atau 'digoreng' oleh orang asing," kata Luhut. "Indonesia ini negara 250 juta masa mau didikte oleh orang lain."
Luhut meyakinkan tidak ada yang ditutupi dalam proses penyelesaian kasus Tragedi 1965. Menurutnya, penyelesaian kasus HAM menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia.
"Presiden Jokowi sangat jelas pesannya, jangan ada yang ditutupi, kita transparan, kita ceritakan, bahkan kalau kita salah kita minta maaf kalau ada yang salah kita hukum. Tapi harus ada buktinya," kata Luhut.
Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang digelar selama dua hari lalu, kata Luhut, sebagai ruang untuk memberikan kesempatan berbicara kepada semua pihak yang terkait peristiwa tetsebut.
Tidak hanya dari pihak korban, dan aktivis pembela hak asasi manusia, perwakilan pemerintah dan pihak tentara dan kelompok yang diduga ikut mengeksekusi juga hadir.
Dalam simposium itu, Letjen (Purn) Sintong Panjaitan menyampaikan jumlah korban di Jawa Tengah tidak ada yang mencapai angka 400 ribu atau 80 ribu orang. Luhut pun berpendapat, jumlah itu tidak masuk akal.
"Tapi tidak menutup serta merta. Kalo ada yg membuktkan angka itu lebih kita juga sangat terbuka. Tapi jangan bicara katanya-katanya, harus dengan fakta-fakta lain," kata Luhut.
(obs)