Alasan Penguatan Payung Hukum Penting Atasi Kekerasan Seksual

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Kamis, 12 Mei 2016 09:36 WIB
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan penguatan payung hukum penting karena pelaporan kasus kekerasan seksual terus meningkat.
Aktifis Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual memegang payung saat aksi damai di depan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Jakarta, Selasa, 8 Desember 2015. (CNNIndonesia/ Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis beberapa alasan yang dinilai menjadi dasar penting dibutuhkannya penguatan payung hukum bagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan perempuan.

Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan payung hukum penting karena Indonesia saat ini telah masuk ke dalam darurat Kekerasan Seksual (KS). Meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual, semakin variatifnya jenis kekerasan, termasuk kepada korban yang mayoritas perempuan belia, serta sistem hukuman yang tidak memberikan keadilan bagi korban dinilai sebagai faktor-faktor mendesaknya penguatan payung hukum.

Berdasarkan data dari mitra Komnas Peremnpuan di lima wilayah seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh dan Sulawesi, pihaknya menemukan fakta bahwa 50 persen kasus diselesaikan melalui mediasi, karena korban kelelahan berhadapan dengan hukum dan tidak cukup bukti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kelemahan sejumlah regulasi yang bersifat khusus menjadi faktor pendorong diperlukannya penguatan payung hukum," ujar Azriana melalui pernyataan yang diterima CNNIndonesia.  

Dia menyebutkan Undang-undang yang sudah ada selama ini seperti di antaranya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang memang telah mengatur kekerasan seksual yang lebih luas dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun, dia menilai UU tersebut tidak bisa digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual di luar ruang lingkup UU tersebut.

Tak hanya itu, Azriana menyebutkan revisi KUHP juga berjalan lambat dan seolah kehilangan arah.

"Hal ini ditunjukkan dengan sejumlah diskusi yang mengarah pada penempatan isu kekerasan seksual sebagai persoalan susila atau kesopanan dalam kerangkan moralitas," katanya.

Azriana mengatakan dalam KUHP, memang diatur tentang pemerkosaan namun hal itu masih terbatas pada penetrasi alat kelamin lelaki ke perempuan. Sementara itu, prosedur pembuktiannya, sebagaimana diatur dalam KUHP, dinilai masih membebani korban.

Azriana juga menjelaskan penguatan payung hukum diperlukan karena eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam UU Pornografi.

Dia mengatakan dalam UU Pornografi tidak ada informasi lebih tentang apa yang dimaksud dengan eksploitasi seksual. Misalnya, dalam Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 10 UU Pornografi, ekploitasi seksual dikaitkan dengan memamerkan aktivitas seksual.

"Akibatnya, UU Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai bentuk kejahatan eksploitasi seksual melainkan lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan," kata Azriana.

Lebih jauh, Azriana juga menilai penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam hukum pidana umum, melainkan hanya hukum pidana khusus, terutama dalam konteks genosida dan kejahatan kemanusiaan sesuai dengan UU Pengadilan HAM.

Dampaknya, ujarnya, adalah penyiksaan seksual terjadi berulang kali dan pemerkosaan terhadap tahanan perempuan tidak ditangani serius dan sistematik. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER