Jokowi Diminta Tak Ingkar Janji Tuntaskan Tragedi 1965

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Jumat, 13 Mei 2016 12:23 WIB
Penuntasan dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia periode 1965-1966 dikhawatirkan terhambat dengan berembusnya isu kebangkitan komunisme saat ini.
Kuburan massal korban 1965 di Semarang, Jawa Tengah. (Getty Images/Ulet Ifansasti)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penuntasan dugaan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, termasuk tragedi 1965, diharapkan tak jadi janji kosong pemerintah Jokowi terlepas dari maraknya isu kebangkitan komunisme yang diembuskan sejumlah pihak saat ini.

“Sejak masa kampanye, Jokowi secara tersirat seperti menjanjikan akan membuat langkah-langkah ke arah itu (penyelesaian peristiwa 1965). Jadi tentu tidak aneh jika para pendukung penuntasan 1965 menagih janji itu,” kata Mohammad Iskandar, dosen pascasarjana Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kepada CNNIndonesia.com.

Jadi, ujar Iskandar, geliat pembahasan soal kasus 1965 pada era pemerintahan Jokowi bukan kebetulan semata. Terhitung sejak Jokowi naik ke tampuk pimpinan Republik, diskusi soal 1965 berembus kencang di kalangan pegiat HAM, akademisi kampus, hingga budayawan sastrawan, baik dalam bentuk seminar dan terakhir Simposium Tragedi 1965 yang dibuka untuk publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Iskandar, pada masa pemerintahan sebelumnya, ruang diskusi untuk persoalan 1965 tak pernah diberikan secara terbuka.

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ujar Iskandar, sempat berencana mencabut Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, ketika ia menjabat presiden. Ia juga berniat meminta maaf kepada publik soal tragedi 1965.

Namun reaksi keras datang dari sebagian masyarakat atas niat Gus Dur itu. Saat itu, kata Iskandar, muncul gerakan penyisiran terhadap buku-buku yang diduga berbau komunisme, persis seperti yang terjadi saat ini.

Tak hanya itu, pemerintah kala itu bahkan dituding ingin menghidupkan kembali komunis di tengah masyarakat.

“Gus Dur tidak sempat menyelesaikan niatnya. Dia ingin minta maaf tapi keburu dimakzulkan,” kata Iskandar.
Harapan atas penuntasan tragedi 1965 sempat muncul kembali saat Megawati Soekarnoputri memimpin. Namun ternyata dia tak merintis jalan menuju arah itu, pun Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode kepemimpinannya.

Persoalan utama saat ini, menurut Iskandar, sesungguhnya bukan paham komunisme, tapi jatuhnya korban tak bersalah di kalangan masyarakat sipil akibat perseteruan kubu komunis dan pemerintah Orde Baru setengah abad silam.

Hal itulah yang juga memicu gerakan masif di tengah masyarakat untuk menolak melupakan Tragedi 1965 yang merenggut banyak nyawa.

“Ini semua bukan soal mendukung gerakan komunis atau menuntut pemerintah mengaku salah. Permintaan maaf ditujukan kepada mereka yang jadi korban salah tangkap pada tragedi 1965,” kata Iskandar.

Selama peristiwa 1965 belum tuntas terungkap, ujarnya, kontroversi soal itu tak akan pernah berhenti.

Namun pengungkapan kasus 1965 kini dikhawatirkan terhambat oleh meruaknya kembali isu kebangkitan komunisme. Persoalan dugaan pelanggaran HAM dicampuradukkan dengan komunisme sehingga dicemaskan mengaburkan upaya pencarian fakta.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, mengatakan propaganda kebangkitan komunisme adalah modus lama yang digunakan untuk menghalang-halangi upaya pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak korban 1965.

“Ini mengada-ada karena sebetulnya ada pihak yang tidak menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu, terutama tragedi 1965, diselesaikan,” ujarnya.

Hendardi menduga jika tragedi 1965 berhasil dituntaskan, ada pihak-pihak yang bakal terganggu kepentingannya. Oleh karena itu, ujar Hendardi, propaganda kebangkitan komunisme selalu dimunculkan tiap ada usaha penyelesaian tragedi 1965.

“(Isu komunisme) ini adalah 'hantu gentayangan' yang dipakai secara rutin untuk menakuti masyarakat ketika ada upaya dan aspirasi kuat dalam mendorong penyelesaian kasus 1965,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta masyarakat untuk berhati-hati dengan dugaan penyebaran komunisme gaya baru. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan PKI secara ideologis tak boleh ada lagi di Indonesia. Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pengguna atribut palu-arit harus ditangkap.

Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah mengatakan TNI dan Polri bertindak sesuai kewenangan yang diatur UU dalam penertiban atribut dengan logo yang diasosiasikan dengan lambang Partai Komunis Indonesia.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER