Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkukuh diskresi yang dia lakukan tak menyalahi aturan karena ada Undang-Undang yang mendasarinya. Namun begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi menganggap diskresi reklamasi tersebut masih bisa diperdebatkan.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan diskresi biasanya diambil dengan tujuan mensejahterakan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Jakarta. Namun begitu belum adanya aturan yang mengatur itu membuat diskresi oleh Ahok menjadi perdebatan.
"Itu masih
debatable karena semua harus diatur dan tak bisa suka-suka," kata Saut saat ditemui di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (25/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Saut, fungsi manajemen seperti itu memang memiliki sejumlah risiko, terutama yang berkaitan dengan aturan perundang-undangan. Yang pasti, kata Saut, seandainya diskresi itu dilakukan untuk kepentingan masyarakat maka itu bisa dipertimbangkan walaupun tetap menjadi perdebatan.
Terkait dengan keputusan diskresi yang dilakukan oleh Ahok, Saut tak mau mengomentarinya lebih jauh apakah itu sudah benar atau tidak karen sekali lagi menurutnya keputusan itu juga masih menjadi perdebatan.
"Itu juga masih
debatable," ujarnya.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan Abraham Lunggana alias Haji Lulung menyoroti kejanggalan proyek reklamasi sejak Ahok mengeluarkan Surat Keputusan pemberian izin reklamasi pulau F, I, dan K. Padahal, menurut Lulung, Rancangan Peraturan Daerah terkait tata ruang dan zonasi belum selesai dibahas.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi, masing-masing bernomor 2268/2015 (Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo), 2269/2015 (Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci) dan 2485/2015 (Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya). SK pemberian izin reklamasi Pulai F dan I terbit 22 Oktober 2015, sementara SK untuk Pulau K muncul pada 17 November 2015.
Selain itu, Lulung juga mengatakan telah terjadi diskresi atau kebebasan mengambil keputusan sendiri yang terbukti dari penambahan biaya kontribusi menjadi 15 persen dari pengembang.
Ahok pun dituding telah melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Kebijajan Pemerintah, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
(obs)