Beneficial ownership merupakan salah satu dari empat isu yang selalu dibahas dalam forum bilateral maupun multilateral. Deddie menjelaskan, dalam
working group di organisasi kerja sama ekonomi regional Asia Pasific (APEC), kelompok 20 negara ekonomi utama (G20), maupun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tiga isu lainnya yang menjadi pembahasan hangat yaitu
Corporate Criminal Liability (CCL),
Denial of Entry, dan pengembalian aset.
CCL atau pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam konteks ini, yang menjadi subjek tindak pidana bukan hanya orang perseorangan tetapi juga secara korporasi. Draf mengenai CCL sudah sampai ke Mahkamah Agungn (MA) namun hingga kini belum final.
Denial of Entry yaitu mencegah pelaku kejahatan masuk ke Indonesia langsung setelah mereka tiba di bandara. Deportasi dapat dilakukan sebelum mereka masuk ke wilayah Indonesia. Sementara pengembalian aset adalah upaya untuk menarik aset-aset Indonesia di berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk
beneficial ownership, KPK berkoordinasi secara intensif dengan kementerian dan lembaga lain yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kepada Kementerian Hukum dan HAM, KPK telah meminta agar Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum (AHU) untuk membuat regulasi terkait Registrasi Publik.
Hal tersebut untuk memastikan agar pemilik sesungguhnya yang sekaligus menjadi pengendali utama sebuah perusahaan dapat terungkap dalam dokumen resmi yang dilaporkan ke Ditjen AHU Kemkumham.
Dalam laporan bertajuk “Mengkaji Janji-Janji G20 Mengenai
Beneficial Ownership” yang dibuat Transparency International (TI), Indonesia memiliki skor 50 persen dari skor tertinggi 100 persen sebagai negara yang memiliki informasi memadai terkait
beneficial ownership. Sementara untuk negara dengan keleluasaan akses ke informasi
beneficial ownership bagi penegak hukum, Indonesia hanya memperoleh skor 29 persen.
Mengutip laporan TI, skor yang lebih rendah diberikan kepada negara dengan daftar terdesentralisasi, yang informasinya tidak lengkap, pihak berwenang hanya memiliki akses ke informasi yang dipegang badan hukum atau badan lainnya, atau hanya memberi akses setelah jangka waktu lebih panjang.
Skor lebih rendah juga diberikan kepada negara yang hanya melakukan verifikasi untuk kasus mencurigakan, maupun yang badan hukumnya hanya diwajibkan memperbarui informasi
beneficial ownership dalam jangka waktu lebih panjang atau malah tidak ditentukan.
Mengutip laporan TI tersebut, “Belajar dari kasus James Ibori di Nigeria, mendapatkan informasi
beneficial ownership dapat membantu menghentikan korupsi.”
(rdk)