Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengkaji keberadaan pengendali utama dalam sebuah perusahaan (
beneficial ownership). Pengendali utama tersebut adalah penerima manfaat langsung dari bisnis yang dijalankan dan dianggap paling bertanggung jawab atas segala dugaan tindak pidana yang terjadi di perusahaan tersebut.
Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Deddie Rachim mengatakan, kajian dilakukan untuk menegakkan hukum seadil-adilnya agar sebuah tindak pidana disangkakan kepada pengendali segala aktivitas perusahaan tersebut. Deddie mencontohkan kasus korupsi yang dilakukan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
“Contoh kasus Nazaruddin. Setelah kasus berjalan, ternyata dia ada di balik semua perusahaan. Tidak adil jika hukuman dikenakan kepada mereka yang namanya ada di akte tetapi tidak mengendalikan perusahaan,” kata Deddie saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Nomor SE-04/PJ.34/2005, yang dimaksud
beneficial owner adalah pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan atau royalti baik wajib pajak perorangan maupun badan, yang berhak sepenuhnya menikmati secara langsung manfaat penghasilan tersebut.
Hasil penyidikan dan proses persidangan yang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas sejumlah perkara Nazaruddin menunjukkan, dia lah yang mengendalikan sejumlah perusahaan di bawah naungan Permai Group. Jaksa Penuntut Umum kasus Nazar, Kresno Anto Wibowo, menyebut Nazar menyamarkan dan menyembunyikan asal usul aset yang diperoleh dari korupsi.
Permintaan Nazar untuk membuka blokir atas asetnya senilai Rp600 miliar juga menunjukkan fakta bahwa dia merupakan pemilik sesungguhnya dari sejumlah kekayaan yang diatasnamakan pihak lain. Menurut Deddie, Nazar sebagai pengendali utama dan pemilik sesungguhnya harus mendapat hukuman setimpal atas segala skandal korupsi dan pencucian uang yang dilakukan Permai Group.
Dalam dokumen resmi sejumlah perusahaan di bawah Permai Group, nama Nazaruddin tidak tercatat sebagai pemilik. Untuk perkara pencucian uang, Nazar telah divonis enam tahun penjara dalam sidang di Tipikor, Rabu lalu (15/6).
Dalam sidang terungkap, ada 42 rekening yang menjadi tempat persembunyian uang Nazar, di antaranya PT Pasific Putra Metropolitan, PT Permai Raya Wisata, PT Exartech Technologi Utama, PT Cakrawaja Abadi, PT Darmakusumah, PT Dulamayo Raya, PT Buana Ramosari Gemilang, PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Anugerah Nusantara, PT Marell Mandiri, PT Panahatan, PT City Investment, PT Alfindo Nuratama, PT Borisdo Jaya, PT Darmo Sipon, PT Putra Utara Mandiri, Neneng Sri Wahyuni, Amin Handoko, dan Fitriaty Kuntana.
Selain kasus Nazar, lanjut Deddie, ada banyak kasus lain yang melibatkan pengendali utama perusahaan dalam sebuah perkara korupsi. Contoh lain adalah kasus korupsi yang melibatkan Riefan Avrian, anak mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Syarief Hassan.
Riefan divonis enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp5,39 miliar pada 17 Desember 2014, karena terbukti bersalah melakukan korupsi pengadaan videotron di Kementerian KUKM. Hakim Nani Indrawati menyebut, Riefan telah menggunakan nama oran glain agar tidak terdeteksi sebagai pemilik dan pengendali PT Rifuel dan PT Imaji Media.
PT Imaji Media adalah perusahaan boneka yang dibuat Riefan dengan diatasnamakan orang lain untuk memenangkan tender proyek di Kementerian KUKM. Riefan mengangkat mantan
office boy perusahaannya, Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media.
Rekening perusahaan yang diatasnamakan Hendra Saputra juga di bawah kendali Riefan. Hendra terbukti tidak pernah sekalipun mengambil uang atas namanya dari proyek-proyek perusahaan. Seluruh pekerjaan perusahaan PT Imaji Media pun berada di bawah kontrol Riefan.
“Tapi kasus-kasus seperti ini ternyata banyak terjadi di Indonesia. Karena dia pejabat, punya bisnis juga, banyak perusahaan model begini yang melanggar hukum,” tutur Deddie.
Kajian yang dilakukan KPK saat ini masih berjalan. Menurut Deddie, KPK mengkategorikan kajian atas beneficial ownership sebagai hal penting namun akan tetap mengikuti aturan yang berlaku.
“Kami harus melibatkan ahli untuk mendalami kajian kami. Praktik yang terjadi sudah ada, jadi ini memang isu yang penting,” ujar Deddie.
Beneficial ownership merupakan salah satu dari empat isu yang selalu dibahas dalam forum bilateral maupun multilateral. Deddie menjelaskan, dalam
working group di organisasi kerja sama ekonomi regional Asia Pasific (APEC), kelompok 20 negara ekonomi utama (G20), maupun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tiga isu lainnya yang menjadi pembahasan hangat yaitu
Corporate Criminal Liability (CCL),
Denial of Entry, dan pengembalian aset.
CCL atau pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam konteks ini, yang menjadi subjek tindak pidana bukan hanya orang perseorangan tetapi juga secara korporasi. Draf mengenai CCL sudah sampai ke Mahkamah Agungn (MA) namun hingga kini belum final.
Denial of Entry yaitu mencegah pelaku kejahatan masuk ke Indonesia langsung setelah mereka tiba di bandara. Deportasi dapat dilakukan sebelum mereka masuk ke wilayah Indonesia. Sementara pengembalian aset adalah upaya untuk menarik aset-aset Indonesia di berbagai pihak.
Untuk
beneficial ownership, KPK berkoordinasi secara intensif dengan kementerian dan lembaga lain yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kepada Kementerian Hukum dan HAM, KPK telah meminta agar Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum (AHU) untuk membuat regulasi terkait Registrasi Publik.
Hal tersebut untuk memastikan agar pemilik sesungguhnya yang sekaligus menjadi pengendali utama sebuah perusahaan dapat terungkap dalam dokumen resmi yang dilaporkan ke Ditjen AHU Kemkumham.
Dalam laporan bertajuk “Mengkaji Janji-Janji G20 Mengenai
Beneficial Ownership” yang dibuat Transparency International (TI), Indonesia memiliki skor 50 persen dari skor tertinggi 100 persen sebagai negara yang memiliki informasi memadai terkait
beneficial ownership. Sementara untuk negara dengan keleluasaan akses ke informasi
beneficial ownership bagi penegak hukum, Indonesia hanya memperoleh skor 29 persen.
Mengutip laporan TI, skor yang lebih rendah diberikan kepada negara dengan daftar terdesentralisasi, yang informasinya tidak lengkap, pihak berwenang hanya memiliki akses ke informasi yang dipegang badan hukum atau badan lainnya, atau hanya memberi akses setelah jangka waktu lebih panjang.
Skor lebih rendah juga diberikan kepada negara yang hanya melakukan verifikasi untuk kasus mencurigakan, maupun yang badan hukumnya hanya diwajibkan memperbarui informasi
beneficial ownership dalam jangka waktu lebih panjang atau malah tidak ditentukan.
Mengutip laporan TI tersebut, “Belajar dari kasus James Ibori di Nigeria, mendapatkan informasi
beneficial ownership dapat membantu menghentikan korupsi.”