'Batalkan Reklamasi Satu Pulau, Laut Jakarta Tetap Habis'

Resty Armenia | CNN Indonesia
Sabtu, 02 Jul 2016 12:51 WIB
Pemerintah dianggap tetap berniat memuluskan reklamasi sebagai bagian National Capital Integrated Coastal Development atau proyek tanggul laut raksasa.
Pemerintah dianggap tetap berniat memuluskan reklamasi sebagai bagian dari proyek tanggul laut raksasa. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta berharap pemerintah juga membatalkan proyek reklamasi Pulau C, D, dan N di kawasan utara ibu kota. Ini menyusul langkah Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang resmi menyetop proses reklamasi Pulau G karena ditemukannya pelanggaran lingkungan berat.

“Kami mendengar Menko Maritim menyatakan reklamasi Pulau G dihentikan, tapi Pulau C, D, dan N dilanjutkan. Artinya, menurut pemikiran nelayan, itu sama saja bohong karena wilayah yang dihentikan hanya satu, ya laut Jakarta tetap habis. Itu hanya alasan untuk meredam masyarakat nelayan tradisional,” ucap Iwan, nelayan anggota Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) di Kantor LBH Jakarta, kemarin.

Pernyataan Iwan diamini Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) DKI Jakarta, Kuat Wibisono. Namun ia mengapresiasi Komite Gabungan yang sepakat membatalkan proyek reklamasi Pulau G.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Saya apresiasi tinggi kepada Komite Gabungan yang berani ambil kebijakan memberhentikan proyek Pulau G. Kami berharap itu menjadi hutan lindung dan ditanami mangrove. Karena pasirnya cukup bagus, maka bisa juga dijadikan tempat budi daya ikan dan kerang,seperti pada tahun 1980-an,” kata Kuat.

Sementara pengacara publik LBH Jakarta Tigor Hutapea, meski mengapresiasi keputusan Komite Gabungan membatalkan proyek reklamasi Pulau G, memiliki catatan kritis yang perlu diperhatikan.

Tigor mengatakan, koalisinya berpendapat keputusan tersebut belum menyelesaikan akar permasalahan yang timbul akibat proyek reklamasi, khususnya persoalan sosial dan ekologis yang berdampak terhadap nelayan tradisional dan perempuan nelayan di sepanjang 72 kilometer pesisir Teluk Jakarta.

Komite Gabungan, tutur Tigor, masih berniat untuk memuluskan proyek reklamasi dan proyek Garuda (National Capital Integrated Coastal Development, NCICD) alias tanggul laut raksasa di utara Jakarta.

“Pemerintah mestinya segera menyelesaikan akar masalah dan persoalan yang timbul dari proyek reklamasi. Harus ada tindakan cepat untuk memulihkan hak-hak nelayan tradisional atas sumber daya wilayah pesisir di Teluk Jakarta. Selama ini tidak pernah ada konsultasi publik kepada seluruh masyarakat di Teluk Jakarta atas reklamasi yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah,” ujar Tigor.

Menurutnya, persoalan utama di Teluk Jakarta adalah kerusakan sumber daya tanpa upaya menyelesaikannya, dan masalah hak tenurial dari nelayan dan warga di sepanjang Teluk Jakarta. Untuk itu pemerintah diminta mengkaji ulang niat melakukan reklamasi.

Alih-alih reklamasi, pemerintah diminta menyelesaikan persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta memastikan hak atas tanah warga pesisir Teluk Jakarta.
Tigor menilai rekomendasi yang dikeluarkan pemerintah terkait moratorium reklamasi bersifat sementara, dan terkesan dilakukan untuk meredakan gejolak keresahan masyarakat.

Rekomendasi percepatan penyelesaian penyusunan perundang-undangan berupa Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), seperti Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), serta rencana lain, juga terkesan hanya untuk memuluskan proyek reklamasi serta masalah yang berasal dari daratan.

“Keputusan Komite tidak menyentuh aspek substansi pelaksanaan reklamasi. Terlebih dalam penyusunan perencanaan tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat secara penuh dan substantif, hanya partisipasi semu bersifat formalitas,” kata Tigor.

Keputusan penghentian reklamasi ia nilai masih bersifat rekomendasi yang belum memberikan kepastian hukum. Keputusan itu secara substantif masih berupa rekomendasi untuk melakukan perbaikan atas 13 pulau lainnya.

Rekomendasi belum berbentuk produk hukum dalam dokumen hukum yang konkrit dan punya kekuatan mengikat untuk menghentikan proyek reklamasi. Rekomendasi, bagi Tigor, hanya diberikan untuk menunda pelaksanaan reklamasi dan pembangunan lain di Teluk Jakarta tanpa menyelesaikan masalah yang telah ada dan timbul akibat reklamasi.

“Keempat, dari hasil kajian yang ada, pemerintah belum melakukan tindakan hukum secara tegas,” ujar Tigor.

Ia mencontohkan, saat pemerintah menemukan dugaan tindak pidana lingkungan, tata ruang dan perikanan yang dilakukan pengembang Pulau C dan D terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, pemerintah tidak menindaklanjutinya ke sanksi pidana.

“Malah, reklamasi di Pulau C dan D tetap dapat dilanjutkan –yang menimbulkan dugaan Komite Gabungan sengaja tidak melihat adanya pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh reklamasi Pulau C, D dan N,” kata Tigor.

Terakhir, LBH Jakarta meminta pemerintah untuk segera melakukan proses legal review terkait soal reklamasi itu.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER