Bom Solo Disebut Bukan Alasan Percepat Revisi UU Terorisme

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Kamis, 07 Jul 2016 21:23 WIB
Pemerintah diminta tidak menjadikan aksi teror di Solo sebagai mempercepat revisi UU Antiterorisme. Pembahasan diusulkan berjalan komprehensif.
Pemerintah diminta tidak menjadikan aksi teror di Solo sebagai mempercepat revisi UU Antiterorisme. Pembahasan diusulkan berjalan komprehensif. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai pemerintah tidak dapat menjadikan peristiwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo sebagai alasan mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Itu dua hal berbeda. Jangan-jangan aksi itu dijadikan barter untuk mempercepat revisi," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/7).

Hidayat menuturkan, kepolisian perlu meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah aksi teror. Apalagi, menurutnya, kepolisian menduga adanya hubungan antara pelaku bom bunuh diri di Solo dengan kelompok pelaku teror di Jakarta, Januari lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembahasan revisi UU Antiterorisme itu, kata Hidayat, perlu dilakukan secara komprehensif dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia menyebut, draf revisi UU Antiterorisme tidak mengatur pembentukan badan pengawas Detasemen Khusus 88 Polri.

Hingga saat ini, revisi UU Antiterorisme masih dibahas panitia khusus parlemen. Sejumlah poin pada draf revisi yang diajukan pemerintah masih mendapat penolakan dari parlemen.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebelumnya menyoroti pasal yang mengatur penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris.

Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, pasal 43A yang ada pada beleid itu berpotensi melanggar hak asasi terduga teroris.

"Karena semua orang yang kemudian ditangkap, dicabut kemerdekaannya, harus melalui prosedur hukum. Dia harus tahu alasan penangkapannya," ujar Roichatul awal Juni lalu.

Dalam beleid tersebut mengatur penyidik atau penuntut dapat mencegah terduga teroris dengan dibawa atau ditempatkan dalam wilayah tertentu selama enam bulan.

Selain persoalan itu, Komnas HAM mengusulkan agar ada badan pengawas dalam mengawasi kinerja penanganan tindak pidana terorisme. Meski, kata dia, lembaga ini tidak harus berbentuk badan baru.
Ketua Pansus Mohammad Syafii mengatakan, dewan pengawas nantinya akan berfungsi mengawasi kinerja Densus 88 untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah operasi pemberantasan terorisme.

"Jadi jangan melakukan pelanggaran HAM. Kalau audit keuangan berarti soal penggunaan keuangan dari mana dapatnya, ke mana digunakan. Jadi awasi keduanya," kata Syafii. (abm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER