Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Reserse Kriminal Polri membuka penyelidikan baru kasus peredaran vaksin palsu ke arah dugaan tindak pidana pencucian uang. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Agung Setya mengungkapkan, dugaan tersebut muncul setelah ada salah satu transaksi yang dilakukan tersangka dengan nilai mencapai Rp11 miliar.
"Pencucian uang mulai kami bongkar, ada salah satu distributor yang nilai transaksinya mencapai Rp11 miliar. Kami akan menelusuri itu," kata Agung saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/7).
Agung menjelaskan, aliran dana tersebut akan dicari mulai dari distributor, pemesan, hingga pengguna vaksin palsu. Hal itu dilakukan lantaran uang hasil kejahatan bisa saja tak hanya dinikmati oleh sang distributor melainkan oleh pemesan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk saat ini, para tersangka yang sudah diamankan hanya dianggap melanggar dua undang-undang, yaitu UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU kesehatan Nomor 36 tahun 2009. Dari dua UU tersebut, para tersangka maksimal dihukum hingga 15 tahun penjara.
Namun seandainya para tersangka terbukti melakukan TPPU, maka ancaman hukuman bisa bertambah hingga 20 tahun penjara. "Bagi pencuci uang, hukumannya 20 tahun, melanggar UU Kesehatan 15 tahun, dan melanggar UU Perlindungan Konsumen 5 tahun," ujarnya.
Hingga saat ini, Polri sudah menetapkan 23 orang tersangka. Yang terbaru adalah tiga tersangka yaitu mantan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sayang Bunda berinisial dokter H, bidan N dan insinyur S.
"Dokter H diduga memesan vaksin dari Toko Azka Media yang digeledah saat awal pengungkapan kasus ini. Dokter H cukup banyak memesan dan mengizinkan juga sales dari Azka Medika," kata Agung di Jakarta, kemarin.
Rantai distribusi kelompok ini berawal dari tersangka produsen berinisial A kepada distributor T, kepada toko Azka Medika sebelum akhirnya ke beberapa rumah sakit, salah satunya kepada dokter H. Sementara, insinyur S adalah pengembangan dari kelompok M yang ditangkap bersama istrinya di Bekasi.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek akhirnya telah mengumumkan 14 rumah sakit yang menerima vaksin palsu. Dari 14 RS itu, 13 di antaranya berlokasi di Kabupaten dan Kota Bekasi, Jawa Barat.
Deretan RS penerima vaksin palsu itu ialah RS dr. Sander Batuna, Cikarang; RS Bhakti Husada, Cikarang; RS Sentra Medika, Cikarang; RSIA Puspa Husada, Bekasi; RS Karya Medika, Bekasi; RS Kartika Husada, Bekasi; RSIA Sayang Bunda, Bekasi; RSU Multazam Medika, Bekasi; RS Permata Bekasi; RSIA Gizar, Cikarang; RS St. Elisabeth, Bekasi; RS Hosana Medica Lippo Cikarang; RS Hosana Medica Bekasi; dan RS Harapan Bunda, Jakarta Timur.
Sementara delapan bidan yang menerima vaksin palsu adalah Bidan Lia di Kp. Pelaukan Sukatani, Kabupaten Cikarang; Bidan Lilik di Perum Graha Melasti, Tambun, Bekasi; Bidan Klinik Tabina di Perum Sukaraya, Sukatani Cikarang, Kabupaten Bekasi; Bidan Iis di Perum Seroja, Bekasi; Klinik Dafa Dr. Baginda di Cikarang; Bidan Mega di Puri Cikarang Makmur, Sukaresmi; Bidan M. Elly Novita diCiracas, Jakarta Timur; dan Klinik Dr. Ade Kurniawan, Rawa Belong, Slipi, Jakarta Barat.
Orangtua dari anak-anak yang melakukan vaksinasi di 14 RS tersebut menuntut pihak rumah sakit melakukan cek medis hingga membayari segala akibat yang ditimbulkan atas asupan vaksin palsu tersebut.
Anggota Komisi IX DPR mendukung tuntutan para orangtua. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partoanan Daulay sependapat agar biaya cek medis dibebankan kepada setiap rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu tersebut.
(rdk)