Mengejar Mimpi di Tanah Transmigrasi

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Jumat, 22 Jul 2016 21:48 WIB
Jumiin, usianya sudah senja, lebih dari kepala lima. Ia datang dari Medan menuju provinsi tetangga sebagai transmigran, dengan janji garapan satu hektar sawah.
Sulitnya memproduksi hasil pertanian khususnya padi membuat para petani di Riau berubah haluan menggarap hasil holtikultura. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lebih dari setengah lahan di Riau merupakan lahan gambut. Itu menjadi permasalahan. Petani mengakui keasaman air membuat lahan tanah tak bersahabat untuk memproduksi hasil tani. Merugi, menjadi hal yang sering mereka rasakan.

Jumiin, usianya sudah senja, lebih dari kepala lima. Ia datang dari Medan menuju provinsi tetangga sebagai transmigran, dengan janji garapan satu hektar sawah.

Keputusan Jumiin menjadi transmigran diambil empat tahun silam. Ketimbang menarik becak di Medan, asa lebih besar di Riau. Namun, malang yang diraih, tak hanya sekali, sawahnya mengalami gagal panen karena buruknya kualitas air di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak Riau, tempat ia bermukim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Akhirnya saya hidup dengan tanaman yang tumbuh di pematang sawah, kayak cabai itu nanti buat menghidupi kami, dijual lalu buat beli beras buat makan, kalau panennya gagal," ujar Jumiin saat ditemui di dekat sawah miliknya, Minggu (17/7).

Cerita serupa datang dari Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siam, Riau, Suryono. Ia tinggal di lahan konsesi APP Sinar Mas, namun bernasib serupa, selalu gagal karena buruknya sanitasi juga kualitas air.

"Kalau musim kemarau, masalah utama kami ya sulit air. Saya tidak punya modal untuk tanaman keras (yang tetap hidup saat musim kemarau), jadi harapan hidup saya hanya lewat pengembangan," ungkap Suryono.

Sejak 2006, Suryono mulai mengembangkan lahannya dengan tanaman hortikultura di kawasan konsesi APP Sinar Mas lewat bantuan Pemda.

Namun, perkembangannya tak cukup baik dan semakin parah pada tahun 2015, yang mana wilayah Riau dilanda musim kemarau panjang penyebab kebakaran hutan serta lahan. Bahkan, saat kejadian tersebut Jumiin memilih kembali ke kampung halamannya selama 4 bulan.

"Waktu kabut asap lalu, saya pulang ke Medan. Sudah tidak tahu mau kerja apa lagi, tidak ada yang bisa dikerjakan juga. Parah sekali saat itu," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Kepala Desa Muara Bungkal, Siak, Asril Amran, mengatakan secara perlahan bencana kebakaran itu telah membuat warganya mau berpikir untuk mengelola lahan lewat cara lain.

"Selama ini kami mengalami beberapa kendala dalam banyak hal. Mulai bibit hingga ketaktahuan dalam melakukan penanaman," ujarnya.

Upaya warga untuk dapat mencapai perubahan tersebut terus dilakukan. Salah satunya melalui keikutsertaan dalam kelompok Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Melalui program tersebut, warga berharap setidaknya menemukan solusi atas kendala yang mereka hadapi.

Pembimbing lapangan bagi para petani yang tergabung dalam program DMPA ini, Ahmad Syafrudin mengakui bahwa tingkat keasaman tanah di Riau membuat para petani sulit mengembangkan bibit mereka.

Oleh karenanya menurut Syafrudin saat pelatihan, petani perlu dibekali cara pengelolaan air dan menurunkan tingkat keasamannya, serta dibuatkan waduk air.

"Dengan kasih dolomit, tawas, serta arang di sumber air, itu dapat digunakan petani sebagai bentuk penyaringnya. Harganya pun murah, satu kilo dolomit hanya Rp 1200," kata Syafrudin.

Setelah adanya bantuan dari pemerintah, irigasi dan pelatihan cara untuk mengatasi kadar keasaman dalam air dari pihak APP, membuat para petani tersebut lebih bersemangat mengembangkan kehidupan lain di tanah yang umumnya sering ditanami kelapa sawit.

"Dulu saya kendalikan hanya satu hektar, saya buat perbandingan dengan kelapa sawit ternyata lahan untuk perkebunan itu lebih menguntungkan. Akhirnya dicabuti tanaman kelapa sawitnya melihat pangsa pasar yang lebih baik untuk tanam sayur-sayuran," kata Suryono.

Perkebunan yang dikelola Suryono bersama sembilan orang lainnya, mengelola jenis-jenis sayuran seperti bayam, kacang panjang, timun, juga buah seperti pepaya. Dalam satu bulan, Suryono mengaku bisa mendapat hasil bersih sekitar Rp 3-7 juta dari pengelolaan sayur-sayuran tersebut, sedangkan kala dirinya mengelola kelapa sawit ia hanya mendapat Rp 1,4 juta.

Masyarakat Peduli Api

Bencana kebakaran hutan dan lahan tahun lalu, petani menjadi satu dari sekian banyak yang berkontribusi melakukan pemantauan titik api dan rawan panas. Masyarakat Peduli Api jadi gabungan masyarkat untuk melindungi areanya dari sebaran titik api.

Seorang pemuda desa Muara Bungkal dan anggota Masyarakat Peduli Api (MPA), Tri Yanto menuturkan perihal partisipasi mereka dalam membantu proses pencegahan kebakaran lahan di kemudian hari.

"Kami bertugas untuk patroli setiap hari memantau titik-titik rawan kebakaran, kalau ada wilayah yang terindikasi kami melapor ke posko pengendalian untuk ditangani, cara ini nampaknya lebih efektif dan cepat," kata Tri. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER