Santoso, Persilangan Konflik Lokal dan Jaringan Internasional

Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Selasa, 19 Jul 2016 15:01 WIB
Santoso berangkat dari konflik horizontal Poso, 2003 yang belakangan membentuk Mujahidin Indonesia Timur dan berbaiat terhadap ISIS.
Dua Regu Pasukan Brimob bersenjata lengkap melakukan pengejaran terhadap terduga kelompok sipil bersenjata di sekitar gunung Patingkea desa Tamadue, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Seniin (29/12). Mereka melakukan penyisiran guna mencari persembunyian kelompok Santoso cs. (Antara Foto/Zainuddin MN)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pimpinan kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur Santoso masuk kali pertama daftar pencarian orang Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri sejak 5 Mei 2012. Butuh waktu empat tahun untuk bisa menangkap buron paling dicari itu.

Berdasarkan daftar terduga teroris Markas Besar Polri nomor DTTOT/P-1B/2171/XII/2015 tanggal 22 Desember 2015 yang ditandatangani Jenderal Badrodin Haiti, Santoso diketahui berusia 40 tahun.

Pria kelahiran Tentena, 21 Agustus, juga punya banyak nama alias. Di antaranya adalah Abu Wardah, Waluyo, San, Pak de, Komandan, Kepala Sekolah, dan Pak Bos. Dia masih tercatat sebagai warga Desa Tambarana, Dusun II Kecamatan Poso Pesisir Utara Kabupaten Poso.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok ini digambarkan memiliki tahi lalat di antara alis dan mempunyai tinggi badan 173 cm.

Penelusuran CNNIndonesia.com di lingkungan pemberantas terorisme mengungkap kiprah Santoso berangkat dari konflik horizontal Poso, 2003 silam. Kala itu, konflik melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai daerah yang begabung di kota tersebut, termasuk Santoso.

Setelah konflik mereda, para tokoh itu kembali ke daerah masing-masing dan melanjutkan pergerakannya dalam kelompok kecil. Santoso menjadi pemimpin kelompok Tambarana dan melakukan serangkaian aksi teror.

Selain kelompok Tambarana, ada pula kelompok Kayamanya, Mapane dan Masjid Rutan Poso dan Palu. Kelompok-kelompok ini adalah sumber personel yang kemudian jadi pengikut Santoso.

Gerakan yang berangkat dari konflik lokal ini kemudian bertemu dengan jaringan intenasional Jamaah Islamiyah, melalui sempalannya, Jamaah Ansharut Tauhid di Kayamanya di 2010. Saat itu, Santoso berniat untuk mempersatukan pengikutnya dengan jaringan yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir.

Desember di tahun yang sama, kelompok JAT Poso dibentuk. Santoso menjabat sebagai pengurus bidang asykari atau pelatihan militer. Namun, JAT membantah keras ada pelatihan militer dalam programnya.

Pelatihan militer tercatat berlangsung setidaknya sampai 2013. Belakangan, pelatihan ini banyak diikuti peserta dari Poso dan Bima dan diyakini masih terus berlangsung meski digempur habis-habisan.

Materi yang diajarkan adalah cara menggunakan senjata api, bela diri dan membaca peta. Selain itu, diajarkan juga cara membuat bom dan ranjau.

Para peserta pelatihan militer itu juga belakangan tercatat melakukan aksi teror. Santoso sendiri diyakini memerintahkan anak buahnya, Rafli alias Furqon, untuk memimpin serangan ke Bank BCA Palu dan mengambil senjata polisi.

Sejak itu, kelompok-kelompok lain di Indonesia kerap mengirimkan anggotanya untuk berlatih bersama Santoso. Di saat yang sama, mereka juga berbagi informasi dan paham masing-masing.

Salah satu tokoh jaringan nasional yang terlibat di sini adalah Daeng Koro. Pria yang kemudian menjadi petinggi kelompok teror itu tewas dalam baku tembak 2015 lalu. Selain itu, kelompok Bima juga mengirim anggotanya dan beberapa di antaranya masih menempel kelompok Poso hingga saat ini.

Selain dua kelompok tersebut, ada juga jaringan Abu Roban dan Al Qaeda Indonesia yang diyakini terlibat kegiatan itu.

Kontak tembak antara kelompok teroris dan polisi juga terus terjadi hingga 2016 ini. Belakangan kelompok Santoso juga menyatakan berbaiat pada Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS. Tak hanya itu, mereka juga berani mengancam akan menyerang Istana dan Polda Metro Jaya dalam rekaman video yang tersebar secara daring. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER