Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkotik bukan solusi untuk mengurangi atau menghilangkan peredaran narkotik di Indonesia.
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono menyusul terbitnya keputusan Mahkamah Agung yang menolak Peninjauan Kembali (PK) bandar narkotik Freddy Budiman sejak Rabu (20/7).
Menurut Supriyadi meskipun Indonesia darurat narkotika namun seharusnya bukan hukuman mati yang menjadi solusi. “Cukup aneh kalau kata Presiden Jokowi banyak korban narkotik, katanya 50 orang meninggal setiap hari tapi pemerintah tidak melakukan apapun, kecuali hukuman mati,” tutur Supriyadi dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (23/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi, kata Supriyadi, untuk Freddy dan para terpidana mati narkotik lainnya lebih baik di penjara seumur hidup saja tanpa grasi dan remisi.
“Kemungkinan Freddy tidak mengajukan grasi karena kalau mengajukan grasi mungkin dianggap sebagai pengakuan bersalah,” ujar Supriyadi.
Dia menuturkan situasi
illegal drugs memang sudah menjadi masalah global di semua negara namun hanya Indonesia saja di ASEAN yang menggunakan hukuman mati sebagai solusi.
Menurut Supriyadi pencegahan dan penanggulangan bahaya narkotik di Indonesia selama ini belum cukup. Badan Narkotika Nasional belum sanggup untuk mengatasi maraknya peredaran narkotik.
Begitu pun, lanjut Supriyadi, program rehabilitasi bagi para pemakai narkotik belum menunjukkan hasil yang baik. Menurut dia pendekatan pemerintah Indonesia adalah sebanyak mungkin memasukkan korban penyalahgunaan narkotik ke penjara. “Makanya penjara full dengan penyalahguna narkotik. Pendekatan crime control model lebih banyak diterapkan,” ujarnya.
Supriyadi menambahkan sikap ICJR sudah jelas bahwa secara tegas menolak hukuman mati di Indonesia terkait kasus narkotik. “Sikap MA memang sudah keliuhatan kalau soal bandar narkotik,” ucapnya.
Pengajuan PK Freddy ditolak MA dengan alasan keputusan di pengadilan tingkat sebelumnya telah benar dan sesuai. Freddy sebelumnya telah divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2013. Dia ditangkap karena terlibat penyelundupkan 1,4 juta butir ekstasi dari China.
Merasa tak terima, Freddy kemudian mengajukan banding atas putusan tersebut. Namun di tingkat Pengadilan Tinggi sampai tingkat kasasi bandingnya ditolak. Hingga akhirnya Freddy mengajukan PK dan kembali ditolak.
(obs)