Kisah Merry Utami, Terpidana Mati yang Mencari Keadilan

CNN Indonesia
Rabu, 27 Jul 2016 14:51 WIB
Terpidana mati Merry Utami sempat mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual saat menjalani proses hukum setelah tertangkap membawa narkoba, 2001 silam.
Ilustrasi Hukuman Mati
Jakarta, CNN Indonesia -- Merry Utami merupakan satu di antara lima perempuan yang dijatuhi vonis mati. Dirinya disinyalir masuk dalam daftar terpidana yang akan dieksekusi dalam waktu dekat.

Baru-baru ini, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengunjungi Merry yang kini mendekam di salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan. Hasil kunjungan itu menyingkap banyak hal seputar kehidupan Merry dan proses hukum yang ia jalani. 

Merry adalah perempuan mantan pekerja migran kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 Januari 42 tahun silam. Ia sempat menikah dan dikaruniai dua orang anak. 
Komisioner Advokasi Internasional, Adriana Venny mengungkapkan, Merry dipaksa sang suami bekerja ke Taiwan sebagai pekerja migran untuk melunasi hutang judi suaminya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mantan suami Merry senang mabuk, judi, dan berselingkuh. Merry menjadi pekerja migran selama dua tahun, hingga saat dia berusia 25 tahun Merry bercerai dengan suami," kata Adriana kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/7).

Setelah cerai, Merry bertemu Jerry, warga negara Kanada yang mengaku berprofesi sebagai pedagang. Mereka sempat menjalin kasih selama tiga bulan. 

Terjerat Sindikat Narkotika

Pada tanggal 16 Oktober 2001 Jerry mengajak Merry berlibur ke Nepal. Hari keempat liburan atau pada 20 Oktober Jerry memutuskan kembali ke Jakarta dengan alasan urusan bisnis. 
Merry diminta Jerry untuk menunggu temannya di Nepal karena ada tas yang akan diberikan Jerry kepada Merry melalui dua temannya tersebut.

"Dengan alasan akan diberi tas tangan kulit, Merry diminta menunggu. Di Nepal ia menunggu selama seminggu hingga akhirnya bertemu dengan Muhammad dan Badru di sebuah klub malam," kata Adriana.
Setelah menerima tas tangan tersebut, Merry terbang kembali ke Jakarta. Mulanya Merry sempat terbebas dari pemeriksaan di Bandara Soekarno Hatta. Namun, karena lupa membawa koper miliknya, ia kembali ke bagian lost and found di dalam bandara.

"Saat pemeriksaan kedua, dia lewat x-ray, karena Merry tidak tahu apa-apa dia berikan tasnya saat pemeriksaan, dan diketahui kalau tasnya ada narkoba jenis heroin sebanyak 1.1 kilogram," kata Adriana.

Petugas bandara kemudian membawa Merry untuk diperiksa. Awalnya, Merry berpikir peristiwa ini hanya salah paham. Ia pun mencoba menghubungi Jerry. Namun, semua nomor Jerry dan teman-temannya tidak aktif. Belakangan diketahui kalau Jerry memilki banyak nama samaran.
Dari cerita Merry dan empat perempuan lain yang divonis mati, Komnas Perempuan menemukan fakta adanya kerentanan berlapis yang dialami perempuan pekerja migran. Perempuan pekerja migran rentan dimanfaatkan oleh sindikat narkotik internasional dan rentan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi selama proses hukum.

Ketua Komnas Perempuan Azriana berkata, kurangnya pengetahuan menjadi salah satu alasan sindikat perdagangan narkotik banyak membidik perempuan pekerja migran. Modus yang dilakukan biasanya mirip. Melalui pendekatan personal, relasi pacaran, lalu setelah itu dijadikan kurir tanpa perempuan tersebut menyadari.

"Lima perempuan yang mendapat vonis mati tiga diantaranya dijerat sindikat dengan modus sama, pacaran diberi tas, dan tasnya isi narkoba," kata Azriana.

Kekerasan dalam Proses Hukum

Komnas Perempuan juga menyoroti perlakuan tak manusiawi terhadap para pekerja perempuan selama menjalani proses hukum. Merry, misalnya, sempat beberapa kali mendapat tindak kekerasaan dari pihak berwajib. 

"Dia (Merry) dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP), dia juga mengalami penyiksaan sebanyak tiga kali, di bandara, di perjalanan menuju kantor kepolisian, dan saat pemeriksaan lanjutan," kata Azriana.

Merry bahkan sempat dibawa ke sebuah hotel dengan alasan interogasi ulang. Di hotel, dia tak hanya mengalami penyiksaan fisik. Merry juga dilecehkan secara seksual. Tubuhnya digerayangi dan hampir diperkosa.
Akses terhadap keadilan bagi terpidana mati perempuan pun terbatas. Mereka tidak mendapat pendampingan hukum yang berkualitas. Pada pengadilan tingkat pertama Merry didampingi oleh penasihat hukum yang disediakan oleh kepolisian.

Azriana mengatakan, penasihat hukum Merry hanya datang saat persidangan dan tidak pernah mendiskusikan soal pembelaan dirinya. Penasehat hukum hanya menyuruh Merry mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan.

Merry juga tidak mendapat peradilan yang adil. Di persidangan, pengadilan mengabaikan kemungkinan mereka menjadi korban sindikat narkotik internasional dengan alasan banyak kurir yang mengaku sebagai korban.

Merry akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 2002. Ia langsung melakukan upaya banding, tetapi hasil yang didapat justru menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Tidak puas, ia mengajukan kasasi, namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya.
Merry tak mau berhenti berusaha. Pada tanggal 28 April 2014, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Kembali, usahanya ditolak. Putusan penolakan itu keluar pada 15 agustus 2014. Namun Merry baru menerimanya pada Sabtu 23 Juli 2016 atau bertepatan dengan waktu penjemputannya ke Lapas Nusakambangan.

Setelah semua yang dialami, kini Merry terkurung di ruang isolasi. Tak ada yang tahu kapan pemerintah melaksanakan eksekusi terhadapnya. Tetapi harapan belum sepenuhnya hilang. Meski kecil, Komnas Perempuan masih berharap agar presiden memberikan grasi kepada Merry.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER