Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tiga pemeriksa pajak KPP Pratama Kebayoran Baru meminta ‘uang capek’ Rp450 juta kepada PT EDMI Indonesia dalam pemeriksaan permohonan restitusi PPN tahun 2013 dan PPh tahun 2012.
Hal itu terungkap dalam dakwaan tiga pemeriksa pajak yakni Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana. Dalam dakwaan yang dibacakan kemarin, Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan ketiganya memaksa perusahaan itu untuk memberikan uang Rp75 juta, yang nilai sebelumnya adalah Rp450 juta setelah mengerjakan pemeriksaan permohonan restitusi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2013 dan Pajak Penghasilan (PPh) 2012.
Pada Maret 2013, Direktur Utama PT EDMI Indonesia Ratu Febriana mengajukan restitusi atas PPN tahun 2013 karena terdapat kelebihan bayar Rp2,39 miliar. Sedangkan untuk PPh tahun 2012, terdapat kelebihan bayar Rp834,70 miliar. KPP Pratama Kebayoran Baru pun akhirnya menunjuk ketiga terdakwa tersebut untuk melakukan pemeriksaan.
Pada Desember 2013, Herry Setiadji, selaku Ketua Tim Pemeriksa, menyatakan total restitusi PPN dan PPh mencapai Rp3 miliar. Hal itu dipaparkan ke Andriyanto, Wakil Presiden Direktur PT EDMI Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kemudian terdakwa I meminta ‘uang capek’ sebesar 15 persen dari total restitusi atau sekitar Rp450 juta,” demikian surat dakwaan JPU KPK yang dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (4/8).
Atas desakan itu, Andriyanto menuturkan pihaknya mungkin hanya menyerahkan 5 persen, dengan syarat adanya persetujuan dari Direktur Utama PT EDMI Indonesia. Setelah dilaporkan, Ratu Febriana menuliskan keluhannya di Twitter yang ditujukan kepada akun @DitjenPajakRI soal permintaan ‘uang capek’ tersebut. PT EDMI Indonesia sendiri adalah perusahaan teknologi, anak usaha dari EDMI Ltd di Singapura.
Jaksa menyatakan tim pemeriksa pajak itu mengancam bahwa PT EDMI Indonesia tak akan bertahan lama di Indonesia. Ancaman itu kemudian dilaporkan ke Inspektorat Bidang Investigasi Ditjen Pajak pada Maret 2014.
Namun, tim pemeriksa pajak itu kembali meminta ‘uang capek’ PT EDMI Indonesia melalui jajaran direksinya, Ratu Febriana dan Andriyanto. Ratu menyampaikan hal itu tak dapat dilakukan karena pengeluaran itu dianggap tak resmi sehingga tak dapat dimasukkan dalam pembukuan.
“Namun terdakwa I memaksa Ratu Febriana agar memenuhi permintaan para terdakwa dengan cara mengarahkan agar pembukuan ‘uang capek’ itu dicatat sebagai pembelian,” kata JPU KPK.
Karena ketakutan, perusahaan akhirnya menyetujui permintaan Tim Pemeriksa Pajak sehingga uang pun dilakukan pada April 2014. Uang diserahkan melalui dua Cek BRI senilai Rp75 juta.
KPK menilai perbuatan para terdakwa itu bertentangan dengan pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi. Selain itu, ketiganya terancam pidana sebagaimana diutur Pasal 12 huruf e Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(asa)