Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengadukan pelaksanaan eksekusi mati tahap tiga ke Jaksa Agung Muda Bagian Pengawasan (Jamwas) di Kejaksaan Agung, Jumat (12/8). Menurutnya, ada perbedaan perlakuan hukum pada terpidana mati yang telah dieksekusi pada 29 Juli lalu.
Boyamin mengatakan tiga terpidana mati yakni Fredi Budiman, Humprey Ejike Eleweke, dan Seck Osmane telah mengajukan grasi. Namun akhirnya mereka tetap dieksekusi mati.
Humprey mengajukan grasi pada 25 Juli lalu. Dua hari kemudian Osmane turut mengajukan grasi. Sementara Fredi mengirim nota grasi pada 28 Juli.
Dia membandingkan dengan grasi yang diajukan terpidana mati, Zulfikar Ali. Terpidana mati kasus narkotik itu baru memberitahukan soal pengajuan grasi ke jaksa agung pada 28 Juli sore atau hanya beberapa jam jelang pelaksanaan hukuman mati. Namun, berbeda dengan tiga terpidana sebelumnya, Zulfikar tak jadi dieksekusi mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mestinya perlakuan ke mereka itu sama. Sama-sama ditembak mati atau sama-sama tidak jadi ditembak mati," ujar Boyamin.
Dia menyatakan hal itu berdasarkan pada pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menjelaskan bahwa terpidana masih memiliki batas waktu enam bulan untuk menunggu jawaban grasi yang diajukan.
"Harusnya eksekusi mati itu tidak dapat dilaksanakan sampai penolakan grasi dari presiden sampai ke tangan terpidana," katanya.
Dalam pengaduannya, Boyamin menyebut jaksa agung, jaksa agung muda pidana umum, dan jaksa eksekutor di lapangan sebagai penanggung jawab.
Dia menginginkan pihak Jamwas memberi sanksi pada pihak penanggung jawab apabila terbukti ditemukan pelanggaran pada proses eksekusi mati teesebut. Sanksinya bisa berupa teguran tertulis hingga pemberhentian tidak terhormat.
Pada awal Agustus lalu, Boyamin juga telah mengadukan dugaan tidak sah pelaksanaan eksekusi mati ke Jamwas. Dia juga telah membuat laporan serupa ke Komisi Kejaksaan dan Komnas HAM.
Boyamin merasa berkepentingan mengadukan masalah ini lantaran dia pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi soal peniadaan waktu batasan pengajuan grasi.
"Artinya pada kesempatan ini memang saya mengadukan dugaan eksekusi yang tidak sah karena terpidana sedang mengajukan grasi," ucapnya.
Menanggapi hal ini, Jaksa Agung M Prasetyo menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu telah melalui pertimbangan yuridis yang jelas. Menurutnya, para terpidana mati itu baru mengajukan grasi di detik-detik terakhir sebelum pelaksanaan eksekusi mati.
"Tidak ada satu pun putusan kami yang dilaksanakan tanpa pertimbangan matang. Sebelumnya yang bersangkutan juga sudah membuat pernyataan tidak akan mengajukan grasi. Jadi jangan jadi kami yang disalah-salahkan," tutur Prasetyo.
Menurut Prasetyo, putusan MK tentang peniadaan waktu batasan pengajuan grasi itu adalah putusan yang tidak berlaku surut. Sehingga tidak berlaku lagi ke belakang tapi ke depan.
Apabila grasi tidak diajukan dan putusan pengadilan sudah
incracht, kata dia, maka eksekusi mati itu tetap bisa dilaksanakan.