Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Pembela Indonesia Berantas Mafia Narkoba menduga kepolisian tidak melakukan pengembangan terhadap kesaksian Achmadi, anak buah Fredi Budiman, soal aliran uang yang digunakan untuk memasukkan 1,4 juta ekstasi dari China ke Indonesia pada Mei 2012.
Hal tersebut berdasarkan hasil investigasi atas putusan terhadap Acmadi yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan nomor 2153/Pid.Sus/2012/PN.Jkt.Bar Tahun 2013.
Staf Penanganan Kasus KontraS Satrio Abdillah Wirataru mengatakan, dalam putusan Achmadi terlihat Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penumpulan fakta hukum. Akibatnya, masyarakat tergiring pada konteks pemidanaan, bukan pada pengembangan soal aliran dana dalam bisnis narkotikan Fredi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada mekanisme aliran uang yang belum tereksplorasi dengan baik dan bisa jadi bukti sindikat narkoba tidak hanya berfokus pada Fredi Budiman," ujar Satrio di Kantor KontraS, Jakarta, Senin (15/8).
Satrio menjelaskan, Achmadi merupakan pihak yang diperintah Fredi untuk mengurus administrasi perizinan kontainer milik Primer Koperasi (Primkop) Kalta Badan Intelijen Strategis TNI yang dijadikan media untuk mengirim ekstasi. Ia berkata, dalam berkas putusan, Achmadi memberikan uang sebesar Rp90 juta kepada terpidana lain, yaitu Abdul Syukur, untuk mengurus perizinan itu kepada oknum Primkopkalta BAIS.
Selain mengurus perizinan kontainer, Achmadi juga diperintah Fredi untuk memberikan uang Rp30 juta kepada terpidana Muhtar untuk mengurus gudang yang nantinya untuk menyimpan ekstasi itu. Seluruh uang yang digunakan oleh Achamdi merupakan uang hasil penjualan narkotika jenis shabu seberat 2 ons milik Fredi.
"Uang Achmadi dari hasil menjual shabu milik Fredi sebanyak 2 ons sebesar Rp200 juta," ujarnya.
Satrio menuturkan dalam putusan tersebut terlihat jelas ada pembagian tugas yang begitu rigid. Namun, menurutnya, Polri dan BNN tidak melacak aliran dana yang digunakan oleh Achmadi untuk memuluskan proses administrasi pengiriman kontainer berisikan ekstasi itu.
"Lalu dari mana Rp200 juta itu? Apakah mungkin dengan mudah menjual 2 ons narkotika? Pasti ada jaringan," ujar Satrio.
Oleh karena itu, pihaknya yakin ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh aparat untuk menutupi jaringan dan keterlibatan aparat dalam bisanis narkotika itu. Pasalnya, dari fakta persidangan terlihat jelas ada dugaan keterlibatan aparat yang membantu memuluskan pengiriman narkotika itu.
Sementara itu, praktisi hukum Asfinawati menuturkan, tidak dilakukannya pengembangan atas aliran uang yang digunakan oleh Achmadi oleh aparat adalah hal melanggar hukum.
Ia menilai berdasarkan Undang-Undang Kejahatan Terorganisasi Transnasional dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan yang terorganisir.
(asa)