Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah banyak pendapat yang muncul terkait kewarganegaraan ganda yang membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo.
Begitu banyak teori dan pandangan yang muncul, yang pada akhirnya mengerucut pada perlu tidaknya Pemerintah Indonesia mengubah, atau setidaknya membuka kembali perdebatan, mengizinkan warga negara Indonesia memiliki paspor negara lain.
Saya termasuk pihak yang tidak setuju dengan dua kewarganegaraan. Apakah saya seorang nasionalis? Bisa jadi, karena saya memandang paspor menunjukkan sumpah setia seseorang pada negara penerbitnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya memilliki kesempatan untuk menjadi pemilik paspor Inggris Raya, setelah tinggal di negara itu lebih dari 10 tahun, 14 tahun tepatnya.
Saya tidak memanfaatkannya karena saya tidak yakin saya akan membela negara itu jika terjadi sesuatu yang besar, perang misalnya. Tidak seperti status
permanent residence di Singapura yang mengharuskan pemiliknya mengikuti wajib militer dan membela negara hingga usia tertentu.
Saya sudah pasti tidak akan bersumpah setia kepada Ratu Elizabeth II yang saat ini berkuasa, atau kepada Pangeran Charles jika dia menjadi raja di masa depan.
Tetapi saya yakin akan berjuang mati-matian jika harus membela Indonesia jika ada konflik.
Bagi saya, memiliki paspor Inggris Raya bukan sekadar soal kepraktisan, misalnya mudah bepergian ke negara lain tanpa harus bersusah payah mendapatkan visa. Satu kemudahan yang banyak diincar orang.
Saya merasa cukup dengan status permanent residence yang saya miliki, sebab saya bisa tinggal di wilayah Inggris Raya tanpa halangan apapun. Hak-hak saya sama dengan pemegang paspor Ingris Raya, hanya saja bedanya saya tidak akan bisa terlibat dalam proses politik di negara ini atau memiliki kewajiban membela negara itu jika sewaktu-waktu wajib militer diterapkan.
Alasan praktis dan juga oportunistis ini, bagi saya justru menunjukkan sikap inferioritas WNI yang memiiki dua kewarganegaraan secara diam-diam.
Sikap inferioritas warga Indonesia, menurut saya, sangat tinggi terutama jika harus berhadapan atau bersaing dengan bangsa asing berkulit putih.
Banyak politisi atau warga biasa yang sangat ingin diakui oleh bangsa asing. Mereka akan merasa hebat jika dipuji, sekalipun pujian itu hanyalah pujian diplomatis.
Lihat bagaimana media sosial membuli seseorang yang mencoba berbicara dalam bahasa Inggris, karena dianggap tidak jelas dari tata bahasa maupun pengucapan. Bahasa asing bukan bahasa pertama kebanyakan warga Indonesia, bahkan bukan bahasa kedua mereka karena bahasa daerah adalah bahasa pertama mereka. Kenapa banyak dari kita yang mentertawakan kemampuan bahasa asing sesama WNI?
Pemilik dua kewarganegaraan merasa inferior karena harus antre dan mengisi begitu banyak formulir dan memenuhi persyaratan ketat untuk mendapatkan visa. Mereka merasa inferior jika harus ditanyai secara rinci di imigrasi bandara hanya karena paspor mereka Indonesia.
Saya tidak pernah merasa dipersulit oleh bagian imigrasi negara manapun. Saya dengan tegas mengatakan saya orang Indonesia dan saya memiliki pekerjaan tetap yang tidak berniat tinggal di negara yang saya kunjungi.
Seorang teman warga Amerika Serikat pernah bertanya, apakah saya pernah menjadi korban rasisme di Inggris? Saya tidak pernah mengalami, karena saya tidak pernah merasa rendah diri hanya gara-gara saya orang Indonesia.
Mungkin benar, memiliki paspor asing tidak menentukan nasionalisme seseorang. Mereka akan tetap mengatakan: “saya tetap orang Indonesia.” Tetapi kewajiban yang dikenakan oleh negara lain terhadap pemilik warga negaranya bisa bertentangan dengan kewajiban WNI. Ini yang sering dilupakan atau dikecilkan oleh banyak pihak.
Pembuat UU kewarganegaraan tunggal mengambil keputusan politis yang cukup strategis untuk masa depan Indonesia.
Salah satu kekuatan sebuah negara adalah warganya, baik jumlah, kegigihan, mental, fisik maupun intelektualitas.
Ini modal awal yang cukup berharga untuk membawa Indonesia menjadi lebih sejahtera, lebih maju dan lebih dihormati di tingkat dunia yang mudah-mudahan bisa menghapus inferioritas warga negaranya.
Modal awal ini tentu saja tidak akan cukup jika tidak dibentuk menjadi tenaga profesional yang gigih bekerja, jujur dan tidak korup.
Jika negara dalam hal ini pemerintah tidak bisa mewujudkannya, warga negara Indonesia secara individulah yang harus ikut membantu, dimulai dari unit terkecil di tingkat keluarga.
Saya rasa pernyataan mendiang Presiden John F. Kennedy
“… ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country,” sangat pas untuk menyikapi permasalahan ini.