Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny Sompie menyebut ketiadaan sistem waspada dalam keimigrasian menjadi masalah utama pada polemik kewarganegaraan Arcandra Tahar.
Arcandra, kata Ronny, tercatat pernah menggunakan paspor asingnya pada 2012. Sementara pada 2013-2016, Arcandra tercatat menggunakan paspor Indonesia sebelum menjadi menteri.
Masalahnya, dia menuturkan, sistem imigrasi di Indonesia belum bisa memberi peringatan ketika ada orang yang mempunyai dua paspor dari negara berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sistem kita belum dirancang untuk bisa waspada terhadap penggunaan dua paspor negara yang berbeda. Tapi kalau paspor Indonesia dengan data yang berbeda langsung diperingatkan, termasuk sistem cekal," ujar Ronny di Mabes Polri, Kamis (18/8).
Kepemilikan ganda paspor Indonesia, kata Ronny, sudah dapat diatasi karena otoritas punya data biometrik para pemiliknya. Sehingga, katanya, tidak mungkin orang yang sama membuat dua paspor dengan identitas berbeda.
"Itu langsung kami proses, tapi paspor negara lain ini yang perlu ada kerja sama dan kami berupaya untuk mengelola secara manual jadinya," kata Ronny.
Dia mengatakan kasus ini menjadi pelajaran untuk Direktorat Jenderal Imigrasi dan akan segera diperbaiki.
Diketahui, Arcandra diberhentikan Presiden Jokowi sebagai menteri ESDM karena memiliki status dwikewarganegaraan yakni Indonesia dan Amerika Serikat. Dalam Undang Undang Kewarganegaraan dijelaskan bahwa Indonesia tak menerapkan kewarganegaraan ganda.
Pembahasan Rencana Revisi
Di sisi lain, Ketua DPR Ade Komarudin menyatakan parlemen saat ini akan fokus mengevaluasi daftar rancangan undang-undang yang ada di dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sebelum merencanakan revisi UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
"Kami harus evaluasi dulu Prolegnas. Beberapa UU yang tidak mendesak akan di-
drop," kata Ade di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/8).
Meski demikian, Ade tidak mengungkap undang-undang mana saja yang akan dibatalkan. Namun, menurutnya daftar UU yang masuk ke dalam Prolegnas punya urgensi masing-masing.
Dia pun berkata DPR belum membicarakan revisi UU Kewarganegaraan dengan pemerintah. DPR, lanjut Ade, perlu membahas terlebih dulu dengan badan legislasi.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo menuturkan pihaknya masih menunggu kejelasan pemerintah terhadap revisi UU tersebut. Perlu ada berbagai kajian dan masukan dari pakar terkait persoalan ini.
Menurutnya, jika urgensi revisi UU Kewarganegaraan dianggap mendesak, maka pemerintah atau Presiden Joko Widodo dapat mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang.
"Kalau mau cepat, bisa keluarkan Perppu, kemudian langsung turun surat presiden dan dibahas," kata Firman.
(asa)