Jakarta, CNN Indonesia -- Keberadaan aturan terkait penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme di pasal 219 hingga 221 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukup Pidana dianggap tidak sesuai lagi dengan konteks bernegara saat ini.
Selain tidak sesuai dengan perkembangan zaman, peraturan tersebut juga dinilai tak sesuai dengan fungsi ideal dibuatnya KUHP.
Menurut Komisioner Komnas HAM Roichawatul Aswidah, tidak ada korban riil yang diakibatkan penyebaran paham komunisme, Marxisme dan Leninisme. Karena ketiadaan korban itu, ia mempertanyakan alasan Pemerintah memasukkan peraturan terkait ideologi tersebut ke dalam RKUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya sebuah negara demokratis dari hari ke hari mereka mengurangi rumusan-rumusan yang korban nyatanya tidak ada. Karena rumusan pidana itu sebenarnya kalau untuk melindungi hak asasi manusia warganya tentu korbannya harus riil. Kalau korbannya tidak riil, itu harus dipertanyakan," ujar Roichawatul di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (22/8).
KUHP, seperti dijelaskan Roichawatul, idealnya dibuat negara untuk melindungi warga dari perbuatan yang melanggar hak asasi. Dalam menyusun KUHP, konteks menjadi hal yang harus diperhatikan agar peraturan tidak termakan zaman.
Menurut Roichawatul, kebebasan berpikir dan berkeyakinan tak dapat diatur dalam KUHP. Panduan hukum itu bisa mengatur kebebasan berekspresi. Namun, pengaturan harus dilakukan secara demokratis.
"Rumusan 'melawan hukum' pada ayat 1 pasal 219 RKUHP dapat ditafsirkan berbagai macam. Seharusnya kita memikirkan konteks sekarang itu apakah masih membutuhkan sebuah rumusan seperti itu. Apakah betul sekarang kita masih membutuhkan pasal seperti itu?" ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono berkata bahwa pasal terkait penyebaran paham komunisme, Marxisme, Leninisme merupakan aturan karet dalam RKUHP.
Menurutnya, pasal tersebut tidak merinci dengan baik ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme seperti apa yang dilarang.
"Perumusan yang demikian sangat rentan terhadap pelanggaran HAM," kata Supriyadi.
ICJR juga menilai pelarangan ajaran komunisme di RKUHP serupa dengan jargon Pemerintah orde baru. Sebabnya, pada masa orde baru jargon komunis kerap digunakan untuk mempertahankan kekuasaan Pemerintah.
Atas pertimbangan tersebut, ICJR merekomendasikan DPR menghapus pasal larangan penyebaran paham komunisme, Marxisme, dan Leninisme dari RKUHP.
(gil)