Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia memasuki masa-masa krusial kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, pemerintah yakin karhutla yang terjadi tahun ini tidak akan sebesar tahun 2015.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar berkata, titik panas (
hotspot) yang ada saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan tahun 2015.
Siti menuturkan, jumlah
hotspot yang tercatat secara nasional berkurang 70 hingga 90 persen daripada periode yang sama tahun lalu, yakni dari 8.247 menjadi 2.356 titik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan titik panas, kata Siti, terjadi di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah. Tahun 2015 terdapat 1.292 titik panas di Riau. Di provinsi tersebut baru tercatat 317 titik tahun ini.
Sedangkan di Kalteng, dari 1.137 titik panas tahun lalu, turun menjadi 56 titik panas pada tahun 2016.
"Penurunan titik panas tidak lepas dari upaya tiada henti tim terpadu di lapangan," ucap Siti di Jakarta, Senin (29/8).
Siti mengatakan, saat ini sejumlah pemerintah provinsi seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, sudah menetapkan Status Siaga Darurat Penanggulangan Bencana Asap.
Penetapan status siaga itu penting untuk mengoptimalkan antisipasi peningkatan titik panas.
"Target kerja kami jelas. Jangan sampai rakyat kembali merasakan derita asap. Kami ingin menekan semaksimal mungkin jumlah titik api," tutur Siti.
Pemerintah Singapura dan Malaysia mulai memperingatkan Indonesia untuk mencegah karhutla. Peningkatan titik panas di Sumatera telah berdampak ke dua negara tersebut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Air Singapura Masagos Zulkifli mengatakan, walaupun terjadi penurunan titik panas di wilayah Sumatera, pemerintahnya tetap mengawasi penyebaran asap karhutla Indonesia.
Menurut Masagos, asap kebakaran hutan dan lahan saat ini telah merendahkan kualitas udara Singapura. Jumat pekan lalu, untuk pertama kalinya pada 2016, kualitas udara Singapura turun hingga level tidak sehat.
Fakta tersebut dideteksi Singapore’s Pollutant Standards Index milik National Environment Agency.
“Bahkan dengan jumlah titik panas yang lebih sedikit, dengan tekanan angin pada kondisi cuaca tertentu, kabut asap karhutla tetap bisa mempengaruhi kualitas udara Singapura,” kata Masagos.
(abm)