Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi mengharapkan pejabat dan kepala daerah lebih berani mengambil kebijakan diskresi demi kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat.
Diskresi merupakan kebijakan yang ditetapkan pejabat ketika undang-undang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas dalam hal mengatasi persoalan konkret di lapangan.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, kebijakan diskresi bisa dilakukan oleh kepala daerah selama tidak disertai niat jahat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak usah takut pejabat-pejabat itu untuk ambil kebijakan diskresi selama tujuannya untuk kebaikan," ujar Laode di Kantor Mahfud MD Institut, Jakarta, Senin (29/8).
Laode menuturkan, KPK tidak pernah melakukan kriminalisasi terhadap kepala atau pejabat daerah yang mengeluarkan kebijakan diskresi. Menurutnya, dasar penindakan kebijakan yang melanggar hukum jika memenuhi unsur yang terkadung dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tantang Pemberantasan Tipikor.
"KPK tidak pernah mencari kesalahan orang lain. Kalau benar tidak ada kesalahan tidak mungkin kami tindak," ujarnya.
Laode menegaskan, penindakan terhadap atas kebijakan dilakukan karena ada unsur niat jahat demi kepentingan tertentu.
Kepala daerah dalam hal ini ditetapkan sebagai tersangka karena menyalahgunakan kewenangan. Kewenangan yang dilakukan mereka terbukti untuk memperkaya diri sendiri dan pihak lain.
Laode mencontohkan, kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kebijakan perizinan, yaitu mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna AF dan mantan Gubernur Riau Anas Ma'mun, dan mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar.
"Jadi bukan kebijakannya yang bermasalah. Tapi ada kick back yang mereka peroleh," ujar Laode.
Sementara itu, Dewan Pembina MMD Institut Mahfud MD mengatakan, polemik kebijakan diskresi telah ada sejak lama. Menurutnya, kebijakan itu bukan persoalan besar selama pihak pembuat kebijakan memahami UU.
"Selama ini saya tidak pernah melihat kebijakan yang dikriminalisikan oleh KPK. Semua yang ditindak itu terbukti korupsi," ujar Mahfud.
Mahfud juga menegaskan, pemerintah tidak perlu mngambil inisiatif untuk membuat kebijakan diskresi. Ia menilai, kebijakan diskresi telah diatur dalam UU Administrasi Negara.
Terlepas dari itu, Mahfud meminta kepala atau pejabat daerah tidak berlindung di balik pernyataan Presiden Joko Widodo agar aparat tidak mengkrimknalisasikan kebijakan diskresi. Menurutnya, pernyataan Jokowi itu untuk membuat proses pembangunan berjalan lancar, bukan untuk melindungi pelaku tipikor.
"Jangan sampai orang membuat kebijakan lalu berlindung di bawah pernyataan presiden," ujarnya.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya menyampaikan, Presiden Jokowi memerintahkan kepada aparat penegak hukum tidak mengkriminalisasi eksekutif di daerah yang menjalankan pembangunan.
Presdien mengatakan, sekitar Rp246 triliun anggaran yang transfer ke daerah mengendap di bank-bank daerah. Dana itu seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah karena pemerintah pusat juga mencari tambahan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Ada uang sebegitu besar tidak dijalankan kenapa? Mereka takut (terkana pidana) menggunakan uang itu," ujar Pramono.
Jokowi, kata Pramono, meminta aparat mendukung optimalisasi anggaran daerah untuk pembangunan dengan tidak mengkriminalisasi agenda-agenda pemerintah daerah. "Tetapi kalau benar-benar salah ya tangkap. Kalau mencuri ya penjarakan," ujarnya.
(gil)