Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mencatat empat pelanggaran HAM yang diduga dilakukan personel TNI Angkatan Udara pada bentrokan dengan warga Desa Sarirejo, Medan, Sumatera Utara, pada 15 Agustus lalu.
Pigai berkata, pelanggaran pertama berkaitan dengan hak untuk hidup. Bentrokan tersebut mengakibatkan sedikitnya 20 orang luka-luka.
"Ini melanggar jaminan hak untuk hidup," kata Pigai saat menyampaikan hasil penyelidikan kasus tersebut di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelanggaran HAM kedua, menurutnya, adalah hak untuk tidak disiksa. Komnas HAM mencatat, personel TNI AU menyiksa seorang warga yang dituding sebagai provokator secara sadar dan sengaja.
Pigai mengatakan, tindakan tersebut melanggar hak warga negara yang tidak dapat dicabut (
non derogable rights).
"Kekerasan verbal yang dilakukan personel TNI AU dapat dikategorikan sebagai bentuk perlakuan yang merendahkan martabat," kata Pigai.
Pigai yang berstatus sebagai Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Bentrok TNI AU dan warga Desa Sarirejo menuturkan, anggota militer tidak diperbolehkan menangkap dan menahan warga.
"Penangkapan dan penahanan adalah kewenangan penyidik," ujar Pigai.
Pasal 17 dan 18 ayat 1 KUHP mengatur, perintah penangkapan harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan dilakukan kepolisian.
Pelanggaran HAM berikutnya, kata Pigai, terkait hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas rasa aman serta memperoleh perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Dalam investigasi Komnas HAM, personel TNI AU telah melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal, memasuki kediaman warga, bahkan memasuki tempat ibadah tanpa dengan semena-mena.
"Tindakan anggota TNI AU yang memasuki tempat ibadah dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap agama tertentu dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana," ujar Pigai.
Pelanggaran HAM keempat yang dilanggar TNI AU, menurut Pigai, adalah hak atas kepemilikan. Akibat peristiwa ini, harta benda warga, termasuk rumah dan kendaraan, dihancurkan dan dirusak oleh oknum anggota TNI.
"Hak atas kepemilikan dijamin dalam Pasal 36 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," ujar Pigai.
Sengketa tanah antara TNI AU dengan warga Sarirejo yang memperebutkan lahan seluas 260 hektar karena adanya perbedaan persepsi di kedua belah pihak. Lahan itu dihuni sebanyak 5.500 kepala keluarga.
Peristiwa bentrokan itu mulanya dipicu oleh tindakan sepihak TNI AU, khususnya oleh anggota Lanud Kolonel Soewondo. Mereka memasang patok-patok pada 15 Agustus dini hari sekitar pukul 04.00 WIB di daerah yang masih bersengketa.
Mengetahui hal itu, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi dan melakukan aksi protes. Namun aksi itu disikapi dengan pemasangan blokade oleh anggota TNI AU.
Blokade itu, menurut Pigai, dilakukan di jalan umum yang merupakan akses masuk utama Bandara Polonia, Medan. Jalan itu dipergunakan oleh publik sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai area khusus instalasi militer.
Menurut Pigai, peristiwa ini merupakan kejadian lanjutan pada 3 Agustus yang sempat memanas karena adanya pemasangan spanduk secara sepihak oleh TNI. Spanduk itu berisi pemberitahuan di lokasi tersebut akan dibangun rumah susun bagi TNI AU.
Usai peristiwa di Medan, Markas Besar TNI Angkatan Udara menyatakan akan menjatuhkan sanksi tegas kepada anggotanya yang terbukti menganiaya warga Sarirejo, Medan, ketika prajurit Pangkalan Udara Soewondo Medan terlibat bentrok dengan warga terkait sengketa tanah.
“Proses penyelidikan sedang berlangsung untuk mengetahui siapa-siapa saja yang terbukti bersalah, baik masyarakat maupun prajurit TNI AU,” kata Kepala Dinas Penerangan AU Marsma Jemi Trisonjaya di Jakarta seperti dilansir Antara.
Mantan Panglima Komando Operasi Pertahanan Udara Nasional III Medan itu berkata, TNI AU tak akan menutupi kesalahan anggotanya.
“Tidak ada prajurit TNI AU yang kebal hukum. Semua memiliki kedudukan sama di mata hukum,” ujar Jemi.
(abm)