Jakarta, CNN Indonesia -- Perebutan kursi ketua umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia antara Abdullah Mahmud Hendropriyono dan Haris Sudarno akhir pekan lalu menjadi babak baru kiprah para bekas petinggi militer di gelanggang politik.
Sejak Orde Baru berakhir, institusi militer dipermak untuk tidak bersentuhan dengan aktivitas politik apapun. Namun setelah kembali menjadi warga sipil, sejumlah purnawirawan berlomba mengejar status politikus.
Sebelum reformasi, tentara berperan di pelbagai sektor, mulai ekonomi hingga politik. Peneliti
Australian National University Harold Crouch berkata, hubungan militer dan politik bermula sejak perang kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena telah berpartisipasi pada gerakan nasional melawan pemerintah kolonial Belanda, sebagian besar pejabat tinggi militer merasa aspirasi politik mereka harus diakomodasi," kata Crouch pada buku berjudul
The Army and Politics in Indonesia.
Mengutip Daniel Saul Lev, Crouch menuturkan, keinginan mayoritas pahlawan revolusi itu tersalurkan melalui konsep Jalan Tengah yang digagas Abdul Haris Nasution pada 1957.
Ketika seorang jenderal berbintang tiga naik bernama Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, doktrin itu bermetamorfosis menjadi ideologi yang disarikan dari bahasa sansekerta, dwidharma alias dwifungsi.
 Almarhum Letjen (Purn) Suhardiman, salah satu politikus mantan militer yang mendirikan Golongan Karya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pada masa itu, sejumlah petinggi militer secara resmi masuk ke partai politik. Letjen (Purn) Suhadiman membidani pendirian Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia, ormas penting di awal pembentukan Golongan Karya.
Kolega Suhadiman, Letjen (Purn) Soedharmono, tercatat pernah menjadi orang nomor satu di Golkar. Keduanya adalah satu dari sekian mantan jenderal di partai politik itu.
Faktanya, pada era itu tak seluruh petinggi militer merapat ke Golkar. Mayjen (Purn) Theo Syafei memilih bergabung ke PDIP.
NegarawanSetidaknya terdapat enam mantan petinggi militer di DPR periode 2014-2019. Mereka adalah Tubagus Hasanuddin (PDIP), Supiadin Arie Saputra (NasDem), Asril Tanjung (Gerindra), Salim Mengga (Demokrat), Evert Ernest Mangindaan (Demokrat), dan Guntur Sasono (Demokrat).
Selain keenam orang itu, terdapat banyak bekas jenderal yang duduk di kepengurusan partai politik.
Gerindra dapat disebut sebagai partai yang paling bertabur bintang. Lebih dari 30 mantan petinggi militer menjabat di partai pimpinan Prabowo Subianto itu. Mereka pensiun dengan pangkat kolonel hingga letjen.
Berbicara politikus dengan latar belakang militer tentu tidak lengkap tanpa menyebut Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Partai Demokrat yang diinisiasinya, SBY dapat menjadi orang nomor satu Indonesia untuk dua periode.
Terkait fenomena ini Tubagus berkata, ketika pensiun mantan tentara memiliki hak yang sama dengan warga sipil untuk berpartisipasi dalam politik.
Namun, kata Tubagus, mereka tidak dapat terjun ke politik dengan modal keterampilan berperang. "Saya sekolah lagi. Ambil S2 hingga S3. Pengetahuan itu penting," ucapnya, Selasa (30/8).
Sebagai modal awal, Tubagus mengklaim mantan tentara kaya akan wawasan kebangsaan. Menurutnya, modal itu vital untuk membentuk karakter negarawan.
"Ujungnya adalah pengabdian. Di politik, saya bisa mewujudkan cita-cita. Itu berbeda kalau saya jadi pengusaha," kata dia.
(abm/agk)