Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) yang selama ini dikenal dengan nama populernya Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menyoroti
tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saat ini kian gencar mengincar anak-anak.
Kepala Bidang Sumber Daya LPA Indonesia Henny Rusmiati menyatakan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu kejahatan internasional dengan skala masif. Data menunjukkan, TPPO "berlomba" dengan perdagangan narkoba sebagai kejahatan dengan peringkat tertinggi sedunia. LPA Indonesia meyakini, kejahatan tersindikasi semacam itu hanya bisa diatasi dengan penanganan yang terorganisasi pula.
“TPPO kian nyata mengincar anak-anak sebagai korbannya. Mutakhir, memakai media sosial sebagai instrumen kejahatannya, sindikat TPPO mampu membawa dua anak dan orang dewasa di Jakarta tanpa sepengetahuan orang tua anak-anak tersebut dan mempekerjakan mereka di kafe di salah satu kabupaten di Sumbar,” tutur Henny dalam keterangan tertulisnya yang diterima CNNIndonesia, Sabtu (3/9).
Henny mengatakan penanganan menyeluruh atas kejahatan terorganisasi ini bisa terealisasi berkat atensi langsung dari Mabes Polri dan jajaran Polda Sumbar. Arahan spesifik Mabes Polri telah memungkinkan LPA Indonesia mengambil langkah yang diperlukan agar penanganan kasus ini benar-benar dilakukan secara efektif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami kembali berharap Polri tidak berhenti pada penangkapan para operator lapangan, tetapi juga menciduk otak di balik kejahatan eksploitasi manusia atas manusia lain tersebut serta menelusuri kemungkinanan adanya korban lebih banyak lagi,” ujar Henny.
LPA Indonesia mendorong penyelenggaraan proses hukum yang menyeluruh dan tuntas atas kasus-kasus TPPO karena pemberantasan kejahatan tersindikasi hanya bisa dilakukan dengan kerja yang terorganisasi pula. “Lembaga advokasi dan kemanusiaan, spesifik lembaga perlindungan anak, perlu terus merapatkan diri ke Polri sebagai ujung tombak proses hukum,” kata Henny.
Dia mengingatkan bahwa edukasi tentang penggunaan media sosial secara aman dan ramah keluarga perlu terus digencarkan. “Pemerintah juga perlu terus mengefektifkan langkah pemblokiran situs-situs yang tidak ramah anak,” ucapnya.
Menurut Henny aparat penegak hukum juga harus menelurusi keterlibatan atau pun penelantaran orang dekat para korban dalam menjerumuskan para korban. Apabila dugaan keterlibatan tersebut terbukti, maka pantas diberikan hukuman pemberatan.
“Spesifik untuk menangkal anak-anak menjadi korban TPPO, pemerintah dan masyarakat perlu mengambil langkah maksimal guna menekan jumlah siswa putus sekolah,” kata Henny.
Sebagaimana pada banyak kasus TPPO lainnya, tambah Henny, usia sebenarnya anak-anak dipalsukan sehingga mereka disangka telah cukup umur untuk memasuki dunia kerja. Pemalsuan data dan dokumen kependudukan korban menunjukkan perlunya perapian data kependudukan masyarakat.
Henny menyatakan tertatanya data kependudukan warga mulai dari RT, RW, kelurahan, kecamatan, bupati atau wali kota, dan seterusnya menjadi penjaga atas viktimisasi sistemik terhadap masyarakat khususnya anak-anak selaku korban potensial. “Kartu Anak Indonesia, yang dicanangkan pemerintah belum lama ini, harus mendapat pengelolaan ekstra,” ujarnya.
Setelah menghilang hampir selama satu pekan dari kediaman mereka di Jakarta, tiga anak berusia dua belasan tahun ditemukan berada jauh di salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Anak-anak itu "direkrut" lewat media sosial dan dipekerjakan sebagai pekerja kafe tanpa sepengetahuan apalagi seizin orang tua mereka.
(obs)