Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan memverifikasi temuan dugaan aliran dana terorisme dari Australia dan sejumlah negara lainnya, yang diungkap oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan pihaknya hingga kini belum mendapat data dari PPATK terkait temuan tersebut. Sehingga, ia belum mengetahui dugaan penggunaan aliran dana itu.
"Kami belum dapat verifikasi. Deputi kerjasama BNPT sudah koordinasi dengan PPATK dan Polri, nanti kami verifikasi," kata Suhardi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/9).
Verifikasi itu, kata Suhardi, untuk melacak penggunaan aliran dana yang diduga mendanai kegiatan terorisme baik yang bersifat perseorangan atau ke lembaga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya, Suhardi menurutkan, aliran dana yang diduga digunakan untuk kegiatan terorisme sudah diketahui sejak pertemuan penanagan terorisme di Bali.
"Dalam rapat pertemuan di Bali memang ada aliran dana, tapi kami harus verifikasi lagi," ujarnya.
Suhardi pun menambahkan, Australia yang disebut sebagai pemasok dana terorisme paling banyak ke Indonesia, juga sedang mengalami kendala menghadapi 200 foreign terorist fighter
"Dia (Australia) hadapi kendala yang sama juga. Dia juga ingin belajar pada kita," ujarnya.
Pekan lalu, Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengungkap negara-negara yang diduga menjadi asal sumber pendanaan jaringan terorisme di Indonesia. Di kawasan Asia, terdapat Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.
Sementara dari negara timur tengah, tercatat sumber pendanaan yang masuk ke Indonesia di antaranya berasal dari Irak, Lebanon, dan Turki.
"Negara yang pernah kirim dana ke Indonesia paling banyak dari Australia," kata Yusuf dalam rapat Pansus RUU Terorisme di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/9).
Dari data PPATK, Australia menduduki peringkat pertama yang menjadi penyumbang dana terbesar untuk jaringan teroris dan
foreign terorism fighter yang ada di Indonesia dengan jumlah mencapai Rp88,5 miliar.
Jumlah tersebut berasal dari 97 kali transaksi melalui berbagai cara, baik perseorangan maupun kelompok. Untuk perseorangan, salah satu caranya adalah dengan menyewa orang.
Selain itu, kata Yusuf, cara menikahi wanita warga negara Indonesia untuk diminta membuka rekening khusus guna menerima alokasi dana dugaan terorisme.
Adapun instrumen yang digunakan, kata Yusuf, biasanya menggunakan
bitcoin atau
paypal yang merupakan sistem pembayaran virtual. Sedangkan untuk kelompok, Yusuf mengungkapkan Yayasan biasanya dijadikan modus pendanaan jaringan terorisme.
(yul)