Jakarta, CNN Indonesia -- Saksi ahli dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, menilai rekaman kamera pengintai (
closed circuit television) tidak dapat menjadi alat bukti pembunuhan Mirna Wayan Salihin. Ia berkata, rekaman itu merupakan alat bukti sekunder.
Menurut Mudzakkir, rekaman CCTV baru dapat digunakan jika sudah ada bukti primer. "Kalau primer tidak ada, CCTV tidak perlu dipertimbangkan," kata Mudzakkir pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (26/9).
Mudzakkir menuturkan, kasus pembunuhan harus dibuktikan dengan alat bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut. "Harus bukti primer karena itu yang menentukan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendengar pernyataan Mudzakkir, Ketua Majelis Hakim Kisworo mempertanyakan barang bukti primer dalam kasus pembunuhan Mirna.
"Kalau racun, barang bukti itu yang mana? Di dalam tubuh atau di dalam gelas?" kata Kisworo.
Mudzakkir lantas menjelaskan proses penyidikan harus mengesampingkan seluruh dugaan penyebab kematian seseorang. Untuk memperoleh kepastian, kata dia, penyidik harus menggelar autopsi secara detail.
Pelaksanaan autopsi dilakukan berdasarkan pasal 59 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009. Pasal tersebut mengatur tata cara dan syarat pemeriksaan teknis tempat kejadian perkara dan penyerahan barang bukti kepada Laboratorium Forensik Polri
Mudzakkir mengatakan, dalam autopsi terdapat enam organ tubuh yang harus diperiksa, yakni lambung, hati, ginjal, jantung, jaringan lemak bawah perut (
adipose tissue) dan otak. Selain itu, dibutuhkan juga pengambilan sampel 25 mililiter urine dan 10 mililiter darah.
Setelah melalui proses itu, menurut Mudzakkir, ahli forensik dapat menentukan dan mengambil kesimpulan adanya tindak pidana atau tidak.
"Kalau dari awal sudah dikatakan racun dan yang dicari itu saja, maka itu namanya proses yang subjektif," tuturnya.
(abm)