Menanti Kesimpulan Dugaan Korupsi Payment Gateway

Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Kamis, 06 Okt 2016 09:08 WIB
Payment gateway adalah program pembayaran paspor secara elektronik yang diinisiasi oleh bekas Menkumham Denny Indrayana.
Bareskrim Polri menetapkan bekas Menkumham Denny Indrayana jadi tersangka payment gateway. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus dugaan korupsi implementasi program pembayaran paspor secara elektronik atau payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM sudah lebih dari setahun diusut oleh Badan Reserse Kriminal Polri. Tercatat kasus ini pertama kali menyeruak ke publik pada Maret 2015.

Namun, hingga kini, belum ada kepastian mengenai hasil penyidikan kasus yang menjerat bekas Wakil Menteri Denny Indrayana tersebut. Terakhir, awal tahun ini penyidik mengatakan akan menggelar perkara ini bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk memastikan bahwa ada tindak pidana di dalamnya.

Hanya saja, belum pernah terdengar kabar realisasi rencana tersebut. Ketika ditanyai dalam berbagai kesempatan, para penegak hukum hanya mengatakan hal tersebut masih dikoordinasikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkas perkara setidaknya sudah tiga kali bolak-balik ke meja jaksa. Puluhan, nyaris seratus saksi diperiksa, termasuk mantan Menteri Amir Syamsuddin. Namun, dokumen yang jadi syarat untuk maju ke tahap persidangan itu tidak kunjung dinyatakan lengkap.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto ketika ditanyai soal kelanjutan kasus ini tidak bisa menjawab dengan rinci. Namun, dia memastikan anak buahnya masih terus memroses perkara warisan Komisaris Jenderal Budi Waseso tersebut.

"Tidak berhenti. Masih bolak-balik di Kejaksaan," ujarnya lewat sambungan telepon, Rabu (5/10). "Tapi setahu saya, tidak ada kasus yang lama-lama dihentikan."
Dalam kasus ini, penyidik mempersoalkan pembukaan rekening bank swasta atas nama perusahaan rekanan dalam sistem yang diinisiasi oleh Denny. Bank itu digunakan untuk menampung dana sebelum disalurkan ke kas negara.

Sistem itu juga memungut biaya tambahan sebesar Rp5 ribu dari setiap pemohon paspor. Denny berulang kali mengatakan pungutan tersebut adalah biaya transfer antarbank yang sifatnya wajar dan tidak melanggar hukum.

Pemerintah mengharuskan aliran dana langsung disetorkan ke kas negara. Bank yang menjadi penampung dana pun mesti ditunjuk oleh menteri keuangan bukan pihak perusahaan rekanan.

Merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.04/2006, bank persepsi adalah bank umum yang ditunjuk untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak. Bank tersebut semestinya ditunjuk menteri keuangan.

Selain itu, hal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menyatakan seluruh penerimaan negara bukan pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara.
Walau demikian, belum ada tersangka ditetapkan dari pihak bank maupun perusahaan rekanan. Terkait pembukaan rekening itu, penyidik juga telah memeriksa Direktur Utama Bank Central Asia Jahja Setiatmadja.

Denny meyakini tidak ada tindak pidana korupsi dalam implementasi program tersebut. "Ini adalah inovasi, sebuah terobosan," berkali-kali ketika ditanyai awak media.

Bekas menteri yang lantang menyuarakan pemberantasan korupsi itu tidak ditahan meski sudah lama berstatus tersangka. Polisi sudah tidak lagi membutuhkan keterangannya.

Melenggang Bebas

Tidak ditahan oleh penyidik, Denny tercatat sebagai profesor di Melbourne University, Australia, sejak 20 September 2016. Dia memang sempat meminta izin kepada penyidik Bareskrim untuk mengajar di Negeri Kangguru.

Namun, hal tersebut tidak disampaikan kepada awak media yang menemuinya ketika dia mendatangi Markas Besar Polri, Jakarta, Oktober tahun lalu. Dia mengatakan kedatangannya ke Trunojoyo adalah untuk mengajukan saksi meringankan.

Saksi itu di antaranya Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar, dan ahli hukum administrasi negara Universitas Padjadjaran Asep Warlan Yusuf.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada Himawan Praditya dan ahli hukum administrasi negara Zudan Arif juga diajukan Denny.

Lima orang ini, kata Denny, "bisa membantu menjelaskan bahwa kasus pembayaran paspor elektronik itu inovasi, bukan korupsi."

Baru diketahui Denny meminta izin mengajar di Australia setelah Komisaris Besar Djoko Purwanto yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Korupsi mengungkapkan tujuan kedatangan sang profesor.

Djoko mengatakan Denny yang sudah berstatus tersangka kasus dugaan korupsi itu bukannya mengajukan saksi meringankan, tapi mengajukan izin ke luar negeri.

"Tidak ada permohonan saksi ahli. Denny datang ke sini mengajukan surat izin permohonan mengajar di Universitas Melbourne," kata Djoko sehari setelah kedatangan Denny.

Dia mengatakan, permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena berkas perkara dugaan korupsi Payment Gateway yang menjerat Denny belum rampung. Oleh karena itu pula Polri masih memberlakukan pencegahan terhadap Denny untuk bepergian ke luar negeri.

Masa pencegahan itu, kata Djoko, sebenarnya habis pada 1 Oktober, namun sudah diperpanjang sejak 28 September untuk mempermudah proses pemberkasan.
(rel/rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER