Jakarta, CNN Indonesia -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku menghadapi dilema dalam menangani perkara penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Di satu sisi, sesuai dengan keputusan di internal Polri, kasus yang diduga melibatkan calon kepala daerah harus diusut setelah pilkada selesai. Namun di lain sisi, tekanan publik demikian besar pada penuntasan perkara ini.
"Saya berhadapan pada posisi dilematis," kata Tito kemarin di Jakarta.
Namun setelah berdiskusi dengan jajaranya, ia memutuskan agar perkara ini dilanjutkan dengan segala risiko yang harus ditanggung. Kasus ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan meski perkara ini sengat sensitif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ambil keputusan tanpa konsultasi ke pimpinan negara, laksanakan penyelidikan," kata Tito.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ini menyebut risiko yang harus ditanggungnya adalah, jika ada laporan terkait calon kepala daerah di 100 daerah lain yang juga menyelenggarakan pilkada, maka polisi harus menuntaskanya.
"Di Jakarta pun kalau ada laporan pada dua pasangan calon yang lain, saya juga harus periksa,
equality before the law," kata Tito.
Menurutnya, ini adalah dampak negatif dari ditanganinya kasus Ahok saat ini oleh Bareskrim.
Sebelum dilanjutkannya penanganan perkara Ahok, polisi telah memiliki aturan internal terkait penghindaran politisasi kasus selama Pilkada. Selain itu, aturan itu juga untuk menghindari kesan Polri jadri alat politik. Aturan itu tertulis dalam telegram rahasia (TR) dan dikeluarkan sejak era Kapolri sebelum Tito.
Polisi saat ini telah menaikkan status hukum dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok ke penyidikan. Ahok pun telah ditetapkan menjadi tersangka kasus tersebut.
Setelah ditetapkan menjadi tersangka, polisi akan kembali memeriksa Ahok dan beberapa saksi sebelum berkas-berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan. Ahok dijadwalkan kembali menjalani pemeriksaan penyidik kepolisian pada Selasa (22/11) besok.
(sur/abm)