Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Mohamad Sanusi dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta.
"Meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa berupa penjara selama 10 tahun dikurangi masa penahanan dan denda sebesar Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan," kata jaksa Ronald Worotikan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (13/12).
Jaksa juga menuntut Sanusi dicabut hak politiknya selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman pokok.
Jaksa menilai Sanusi melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanusi juga dinilai melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Terdakwa telah didakwa menerima suap sebesar Rp2 miliar," kata Ronald.
Suap tersebut menurut jaksa diterima Sanusi dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Suap diberikan terkait pembahasan peraturan daerah tentang reklamasi di pantai utara Jakarta.
Sementara untuk kasus pencucian uang, jaksa menyebut Sanusi menggunakan Rp45 miliar untuk membeli tanah, bangunan, serta kendaran bermotor.
Aset yang telah dibeli Sanusi adalah dua unit apartemen di Thamrin Excecutive Residence, tanah dan bangunan di perumahan Vimala Hills Villa and Resort Clister Alpen, dan juga tanah dan bangunan yang dijadikan kantor Mohamad Sanusi Center. Aset-aset itu diminta untuk dikembalikan segera disita.
Sanusi usai persidangan mengatakan akan segera menyiapkan pembelaan dalam sidang berikutnya. "Semua sudah siap tinggal dirapikan," kata Sanusi.
Menurutnya, dalam berkas pembelaan, dia akan membawa sejumlah dokumen yang menunjukan nota pembelian tanah serta sejumlah dokumen aset kepemilikannya. Dokumen itu bisa menjadi bukti bahwa dirinya tidak melakukan pencucian uang.
"Saya ini kan memang pengusaha yang jual beli tanah," ujarnya.
Terkait tuntutan pencabutan hak berpolitik, Sanusi mengaku tidak ambil pusing. Dirinya tetap akan menjalani semua prosedur hukum yang berjalan.
Sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pembelaan akan dilaksanakan Rabu (21/12) pekan depan.
(sur/rel)