Menanti Koneksitas KPK-TNI dalam Perkara Korupsi Bakamla

Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Kamis, 22 Des 2016 10:18 WIB
KPK dan TNI didesak untuk menerapkan koneksitas penyidikan. Koneksitas memberi ruang bagi KPK untuk mengungkap peran oknum TNI dalam kasus dugaan korupsi.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyatakan ada dugaan keterlibatan oknum Tentara Nasional Indonesia dalam perkara suap proyek pengadaan monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI tahun anggaran 2016.

Dugaan keterlibatan oknum TNI terungkap setelah KPK melakukan penyidikan terhadap tersangka yang diringkus dalam operasi tangkap tangan di Kantor Bakamla, Jakarta, Rabu (14/12).

Dalam OTT itu, KPK meringkus empat orang, yaitu Deputi Informasi, Hukum, dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo Hadi, serta tiga pegawai PT Melati Technofo Indonesia, yakni Hardy Stefanus, Danang Sri Radityo, dan Muhammad Adami Okta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, usai pemeriksaan intensif di Kantor KPK usai OTT, KPK hanya menetapkan Eko, Hardy, Adami, dan Fahmi Darmawansyah selaku Dirut PT MTI yang kini masih buron sebagai tersangka. Sementara, Danang oleh KPK dilepaskan dan dijadikan sebagai saksi dalam kasus tersebut.

KPK sendiri sajauh ini masih enggan menyebut siapa oknum TNI yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. KPK berdalih tidak memiliki kewenangan untuk menyidik personel TNI yang terlibat dalam kasus korupsi.

Meski demikian, KPK mengklaim telah berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer TNI untuk menindaklanjuti indikasi keterlibatan oknum TNI tersebut.

"Koordinasi dengan Puspom TNI memang ada indikasi keterlibatan unsur dari dua wilayah peradilan. Peradilan militer di satu sisi bukan kewenangan KPK. Peradilan umum untuk pelaku darii sipil itu menjadi kewenangan KPK," ujar Febri di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (20/12).

Di sisi lain, dugaan keterlibatan TNI dibenarkan lewat pernyataan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto yang menyatakan ada oknum TNI berinisial BU yang diduga terlibat.

Ia menyebut, BU merupakan personel TNI Angakatan Laut berpangkat Laksamana Madya dan merupakan Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek tersebut.

Menanggapi ketidakjelasan penanganan oknum TNI itu, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mendesak KPK dan TNI untuk menerapkan koneksitas penyidikan. Menurutnya, koneksitas memberi ruang bagi KPK untuk mengungkap peran BU dalam kasus tersebut.

Bahkan bukan tidak mungkin, kata Emerson, koneksitas akan menjerat sejumlah oknum TNI yang belum terendus keterlibatannya dalam kasus tersebut.

"Sebenarnya KPK bisa menggunakan sistem koneksitas. Jadi KPK dan TNI membentuk tim penyidikan," ujar Emerson kepada CNN Indonesia.com, Rabu (21/12).

Emerson menyebut, koneksitas pernah diterapkan oleh Kejaksaan Agung dan TNI kala menyelidikan korupsi pengadaan helikopter Mi-17-IV yang menggunakan fasilitas Kredit Eksport pada Departemen Pertahanan dan TNI Angkatan Darat. Korupsi dalam proyek itu diperkirakan mencapai Rp29 miliar.

Dalam sistem itu penyidikan terhadap anggota militer menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan penyidikan untuk warga sipil akan menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Emerson memaparkan, koneksitas tertuang dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Tipikor. Pasal itu menyebut KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

"Jadi ada Pasal 42 UU KPK yang memberi ruang untuk dilakukan secara bersama penyidikan kasus yang meilibatkan sipil dan militer," ujar Emerson.

Hasil penelusuran CNN Indonesia.com, koneksitas juga dijabarkan secara rinci dalam Pasal 89 hingga Pasal 94 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara garis besar, seluruh pasal itu memberi ruang penyidikan secara bersama antara pengadilan sipil dan pengadilan militer atas kasus tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer.

Sementara itu, proses persidangan sebagaimana terkandung dalam Pasal 91 KUHAP ditentukan dari siapa pihak yang dirugikan.

Apabila terletak pada kepentingan umum, maka perkara itu diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Namun, jika kerugian terletak pada kepentingan militer, maka perkara itu diadili di peradilan militer.

Sejalan dengan Emerson, mantan Komisioner KPK Haryono Umar juga mendesak KPK untuk melakukan koneksitas dengan TNi. Namun, ia meminta, TNI juga proaktif dan kooperatif berkoordinasi dengan KPK untuk bertukar informasi dan data terkait kasus tersebut.

"Koneksitas mungkin adalah cara menyelesaikan kasus itu. Jadi, TNI juga harus terbuka dan proaktif, jangan diam saja," ujar Haryono kepada CNN Indonesia.com,

Selain dalam rangka membongkar keterlibatan oknum TNI, Haryono menilai, koneksitas bermanfaat untuk mencegah terjadinya korupsi di tubuh TNI ke depan. Pasalnya, ia menilai, TNI sebagai garda terdepan menjaga kedaulatan negara memerlukan alat utama sistem senjata yang benar-benar prima.

Selama berada di KPK, Haryono mengklaim, menemukan ada dua motif korupsi yang kerap terjadi di lingkup militer, yaitu mark up dan mark down anggaran. Ia berkata, merka up menyebabkan jumlah kebutuhan alutsista kurang dari rencana awal. Sementara, mark down anggaran menyebabkan kualitas barang tidak sesuai spesifikasi yang direncankan.

"Perlu pula ada keterbukaan dalam pengadaan barang atau jasa di lingkup militer agar tidak ada prasangka dari masyarakat," ujarnya.

(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER