Jakarta, CNN Indonesia -- Selama lebih dari dua tahun Presiden Joko Widodo berkuasa, kepolisian menangani sejumlah perkara dugaan penghinaan terhadap penguasa. Dalam menangani perkara, kepolisian bekerja dengan menggunakan landasan beberapa undang-undang (UU).
Salah satunya adalah Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Beleid ini mengatur ancaman pidana paling lama setahun enam bulan terhadap siapapun yang sengaja di muka umum baik lisan atau tulisan menghina penguasa atau badan umum di Indonesia.
Kepolisian makin didukung dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memproses pencemaran nama baik siapapun, terlebih Presiden, terutama di dunia maya.
Kedua beleid ini digunakan saat menjerat Bambang Tri Mulyono, penulis Jakarta Undercover. Bambang diduga menyebar kebencian atau permusuhan terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam bukunya, Bambang menyebut Jokowi memalsukan data saat menjadi calon presiden 2014 dan terindikasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Jokowi dan Jusuf Kalla juga disebut menyebar kebohongan melalui media massa.
Kepolisian meminta keterangan Bambang pekan lalu setelah menerima laporan Michael Bimo Putranto usai kegiatan bedah buku itu di Magelang, Jawa Tengah. Pemeriksaan awal dilakukan di Polsek Tunjungan.
Pemeriksaan dilanjutkan Bareskrim Mabes Polri. Bambang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menebarkan kebencian. Kepolisian menyatakan tulisan Bambang seolah nyata padahal tak didukung dokumen dan fakta.
Pasal berlapis menjerat Bambang. Selain Pasal 207 KUHP dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE, Bambang juga terancam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
UU itu mengatur, seseorang dapat dipidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda maksimal Rp500 juta apabila sengaja menunjukkan kebencian terhadap orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Pasal ini digunakan karena Facebook menjadi salah satu sarana Bambang menjual dan menyebarkan bukunya.
Pada dasarnya, aparat penegak hukum dapat menjerat tersangka pencaci penguasa dengan undang-undang sesuai konteks celaan. Seperti saat Kepolisian tak ragu menggunakan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi saat mengusut perkara foto Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dua tahun lalu.
Bareskrim menggunakan UU ini menjerat Muhammad Arsyad. Melalui akun Facebooknya, Arsyad mengunggah gambar rekayasa Jokowi beradegan seksual dengan Megawati. Perkara diproses usai mendapat aduan Politikus PDIP Hendri Yosodiningrat pada 27 Juli 2004.
Arsyad juga tak lepas dari jerat Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP mengenai penghinaan.
UU Pornografi juga digunakan saat menerima laporan atas foto Jokowi bersama artis Nikita Mirzani pada Desember 2015. Subdirektorat Cyber Crime Bareskrim Polri menjerat Yulianus Paonganan alias Ongen dengan Pasal 4 ayat 1 huruf a dan huruf e juncto Pasal 29 beleid ini.
Ongen mengunggah foto Jokowi dan Nikita melalui akun twitternya @ypaonganan dan menuliskan tagar yang diduga mengandung pornografi.
Selain itu, ia diduga melanggar Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 UU ITE dengan ancaman penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Perkara serupa ditangani Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada Agustus 2016. Polda Sumut menerima dan menyelidiki pengaduan dugaan penghinaan terhadap Jokowi saat mengenakan pakaian adat batak dalam kunjungan kerja beberapa waktu sebelumnya.
Dua akun Facebook, Nunik Wulandari II dan Andi Redani dilaporkan Lamsiang Sitompul ke polisi karena diduga melecehkan Jokowi dan adat Batak. Laporan tercatat dalam STTLP/1094/VII/2016/SPKT III tertanggal 23 Agustus 2016.
Kedua akun ini dijerat Pasal 27 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE juncto Pasal 157 KUHP.
Meski dijerat UU yang sama, akhir kisah pelaku pelecehan Presiden berbeda-beda. Perkara Jakarta Undercover hingga kini masih ditangani Kepolisian. Bambang menjadi tahanan di Polda Metro Jaya.
Sementara itu, Ongen sempat merasakan 'kursi panas' persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim menerima eksepsi Ongen dan memutuskan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) batal secara hukum.
Kisah berbeda dialami Arsyad. Permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan Polri dengan syarat ia tidak mengulangi perbuatannya lagi, tidak menghilangkan barang bukti, tidak melarikan diri, dan tidak mempengaruhi saksi.
Dua hari sebelumnya (1/11/2014), kedua orang tua Arsyad, Mursida dan Syaiffudin, sempat menemui Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan. Usai pertemuan, Jokowi menyatakan memaafkan Arsyad dan memastikan pengangguhan penahanan.
(yul)