Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 panas, semua menyorot arena Pertarungan di DKI Jakarta. Wajar, namanya juga ibu kota. Tapi belakangan, setelah kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan si petahana Basuki Tjahaja Purnama, semua berubah.
Tiba-tiba ada Buni Yani, yang sejak pertama muncul, saya tidak pernah sekali pun mendengarnya, sampai-sampai dia jadi tersangka karena diduga menyebarkan berita
hoax Ahok di Kepulauan Seribu, beberapa bulan yang lalu.
Buni sudah tersangka, juga Ahok. Lalu kemana Buni? Maaf saya tidak mengikuti perkembangannya, karena jarang sekali media memberitakan kiprah sang 'ahli komunikasi' saat ini. Yang saya tahu dia tersangka, sudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya, yang masuk dalam lingkaran publik atau juga termasuk rakyat, sudah puas melihat Buni dalam sorotan kamera, atau tulisan pewarta. Kadang sesekali informasi dari
netizen yang hanya membagikan kabar tanpa jelas benar tidaknya.
Setelah Buni, munculah kembali Rizieq Shihab yang sempat populer di 2003. Membela Buni, dengan bendera Front Pembela Islam, Habieb muncul paling depan. Meminta dengan segera Ahok dipenjara setelah menjadi tersangka.
Sebenarnya saya sudah cukup puas dengan pemberitaan Ahok, yang masih itu-itu saja. Tapi karena Ahok ibarat pemeran utama, maka mau tidak mau, suka tidak suka Ahok lah yang paling depan mengisi muka berita.
Kali ini Ahok tidak hanya muncul di media kovensional (dalam tatanan kaidah jurnalistik), tapi menjadi pemeran utama dari situs-situs yang sekarang sudah di blokir Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Dan belakangan Rizieq Shihab bak pemeran pembantu utama, sebuah peran yang sangat serius dan pentingnya, jika "keriuhan" ini diibaratkan sebuah film.
 Buni Yani jadi tersangka karena dugaan penghasutan SARA. ( ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Saya (yang termasuk di dalam publik), sudah puas bahkan jengah dengan pemberitaan soal Ahok, padahal ada tujuh provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang menggelar Pilkada. Serentak, 15 Februari 2017.
Tapi saya belum puas, karena banyak kelompok dan individu berseberangan pendapat dengan Ahok.
Belum puas sampai tahu bagaimana nasibnya, dari status terangka akibat pelaporan Buni. Setelah Buni, gelaran drama di media pun tersaji.
Ada aksi bela Islam 4 November 2016 (411) yang jadi hidangan pembuka kedua (hidangan pembuka pertama tentu saat pertama kemunculan Buni) dalam sebuah aksi yang diklaim melawan penista agama.
Saya tidak mencoba membela salah satu pihak, karena semua pembuktian ada di ranah hukum, alias pengadilan.
Aksi 411 sangat fenomenal, ribuan orang berkumpul di kawasan Sudirman-Thamrin, dengan membawa nama-nama besar, seperti Aa Gym sampai Ahmad Dhani.
Tapi tetap Ahok yang punya "meja", Ahok pasti tak luput dari pemberitaan, meskipun saya cukup bosan.
Aksi 411 membuat publik terkejut karena 'nyaris' berlangsung damai.
Namun, pembuktian diperlihatkan dalam aksi berikutnya di jilid II, atau dikenal aksi bela Islam 212. Bukan angka sakti pendekar Wiro Sableng, tapi karena berlangsung Jumat, 2 Desember 2016.
Dan aksi itulah yang jadi pamungkas atau sebagai hidangan utama. Aksi berlangsung damai tertib, bahkan Presiden Joko Widodo pun bersedia turun dari singgasana Istana Kenegaraan. Aksi ini layak disebut aksi jempolan, yakni dengan pemberitaan seputar itu, yang cukup membuat saya terhibur sebelum tidur, atau mengerutkan dahi dan
meme yang bertebaran.
Berita 'Sajian Penutup'Publik tampaknya sudah cukup puas dengan hidangan utama, dan saatnya hidangan penutup disajikan. Dengan harapan, sajian penutup ada di persidangan Ahok dan Buni, untuk menunjukkan kualitas rakyat Indonesia yang berjiwa legowo, usai putusan hakim.
Tapi, lagi-lagi tapi. Hidangan penutup terlalu banyak dan tak bisa lagi ditampung, dan tak ada lagi yang mau memakannya. Cukup, sudah cukup puas, sudah cukup kenyang, dengan pemberitaan yang itu melulu.
 Aksi 4 November 2016 yang mendesak Ahok segera diproses hukum. (A NTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Setelah, Ahok dimeja hijaukan, aksi bela muncul berjilid-jilid. Melebar, tagar-tagar bermunculan dari kubu berseteru di sosial media.
"Makanan" penutup tak kunjung habis, muncul lagi "makanan" baru. Meskipun gratis, publik sudah kenyang, sangat kenyang. Puas, bahkan mencapai kepuasan tertinggi, yang menimbulkan kehilangan selera.
Menu penutup kini ada di seorang Imam Besar FPI, Rizieq Shihab. Demo berturut-turut ia pimpin, hingga tersandung lima pelaporan ke kepolisian. Oh, enam, karena paling anyar ada laporan seorang hansip yang tersinggung dengan ujaran "Otak Hansip" yang disebut dikeluarkan oleh Rizieq dalam sebuah video di Youtube.
Tak Kunjung BerakhirSampai kapan pesta "makan-makan" dengan menu Buni Yani, Ahok, FPI (Rizieq Shihab) dan hidangan lainnya ini berakhir? Karena sudah terlalu banyak santapan yang dilahap. Perut kenyang tak lagi ada sela tampungan. Padahal waktu makan telah habis, dan rakyat (juga saya) harus kembali bekerja. Ya, untuk menghidupi keluarga mereka.
Kini, saya mungkin juga beberapa orang saja, mulai bosan dengan pemberitaan. Bahkan tak lagi menganggapnya serius. Seserius awal-awal. Bahkan sekarang, hanya jadi hiburan pelepas penat sehabis bekerja di perjalanan pulang, di dalam TransJakarta, sambil baca-baca, lewat telepon pintar.
Publik mungkin tidak lagi punya selera, minimal tak sekuat selera di saat "lapar".
 Rizieq Shihab dilaporkan oleh sejumlah pihak terkait dengan penistaan agama.( ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Maka, saat publik merasa kenyang, puas (atau bisa dibaca bosan) dengan pemberitaan itu-itu saja, di luar materi substansi (proses hukum dari siapa pun yang terlibat), maka bersiaplah ditinggalkan. Setelah kenyang, kantuk pun melanda.
Paling enak adalah tidur, kalau bisa sepulas mungkin. Maka hidangan (aksi, demo, pemberitaan, manuver politik terkait, saling lapor) yang masih tetap itu-itu juga dibiarkan di atas "meja makan", entah basi, dibuang atau dicomot sewaktu-waktu saja, karena sudah cukup puas. Atau, terlalu puas!
Saat kenyang, maka tentu saya berhenti makan. Jika makanan terus dihidangkan, paling secuil saja untuk mencicipinya, tak lagi ada selera untuk memakannya.
Saya sudah merasa puas dengan aksi FPI beberapa pekan ini, termasuk Ahok (di luar kasus hukumnya) dan idiom yang tiba-tiba populer langsung bertagar di jagad maya.
Saya sudah puas, hingga tak lagi menginginkannya. Terimakasih FPI.