Jakarta, CNN Indonesia -- Emirsyah Satar mesti menanggung secara personal kasus dugaan suap pengadaan mesin pesawat Rolls Royce yang menimpa dirinya. Meski dugaan suap itu terjadi saat Emir menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2014, Komisi Pemberantasan Korupsi menjamin tak akan menjerat perusahaan pelat merah tersebut dalam kasus ini.
Padahal dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi, mestinya memudahkan KPK menjerat maskapai penerbangan tersebut. Namun lembaga antirasuah ini menilai, suap itu hanya dinikmati Emirsyah secara pribadi, bukan untuk kepentingan perusahaan.
Sementara ketentuan dalam Perma tersebut menyebutkan, pidana terhadap korporasi dapat dilakukan ketika korporasi memperoleh keuntungan atau tindak pidana yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan korporasi. Korporasi juga dapat dipidana apabila membiarkan terjadinya tindak pidana dan tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dampak yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, kasus suap umumnya memang menjerat tersangka secara personal. Dalam kasus ini, suap terjadi karena ada kekuasaan dari Emir yang saat itu menjabat sebagai direktur utama. Sehingga segala keputusan perusahaan, kata Oce, menjadi seolah-olah murni di bawah kekuasaan Emir.
"Memang untuk kategori suap itu dimensinya individu, bukan perusahaan karena diserahkan pada orang tertentu. Kenapa ada suap ya, karena ada kewenangan, maka suap terjadi pada pihak yang berwenang tersebut," ujar Oce kepada
CNNIndonesia.com.
Sementara korporasi baru dapat ditindak apabila memperoleh keuntungan langsung dari tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam kasus ini, keuntungan itu hanya diterima Emir sebagai individu.
Tidak dijeratnya korporasi dalam kasus ini menurut Oce, lantaran tak mudah pula menjerat Garuda Indonesia sebagai bagian dari perusahaan BUMN. Pasalnya sebagai bagian dari negara, KPK akan kesulitan dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Ibaratnya, kata dia, kerugian perusahaan negara yang disita nantinya akan kembali lagi pada negara.
"BUMN tidak bisa dijerat dengan korporasi karena termasuk perusahan milik negara. Sudah pasti juga keuntungannya akan diterima individu di BUMN tersebut," kata Oce.
Pemidanaan terhadap korporasi sedianya tak berbeda jauh dengan kasus pencucian uang. Juru bicara MA Suhadi pernah mengungkapkan, jika korporasi tak sanggup membayar denda, maka aparat penegak hukum berhak menyita aset korporasi sebagai ganti kerugian negara.
Dalam kasus pemidanaan manusia, ancaman denda wajib dibayarkan sesuai dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan. Jika seorang terdakwa dihukum untuk membayar denda sebesar Rp50 juta, maka jumlah itu pula yang mesti dibayarkan.
Sedangkan bagi korporasi, jika dihukum membayar denda sebesar Rp50 juta maka bisa dikenai tambahan 1/3 dari jumlah denda tersebut. Selain pembayaran denda, korporasi juga bisa dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin.
 Mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Namun alih-alih menjerat korporasi, Oce berpendapat KPK masih harus mendalami keterlibatan pihak selain Emir dalam kasus tersebut. Pihak lain ini, menurutnya, bisa berasal dari jajaran direksi maupun jabatan penyelenggara negara lainnya. Sebab tak menutup kemungkinan aliran dana itu terbagi ke sejumlah pihak.
"Bisa jadi ada beberapa pihak yang masih harus dikembangkan KPK. Tapi kalau korporasi kemungkinan masih jauh keterlibatannya," ucap Oce.
Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya telah menyampaikan bahwa penyidik akan memeriksa intensif terhadap beberapa pihak yang diduga mengetahui kasus ini. KPK juga bekerja sama dengan lembaga antikorupsi di Singapura dan Inggris untuk mengusutnya. Ia berharap kasus ini tak lantas memberi dampak negatif pada kegiatan operasional Garuda Indonesia. Apalagi perusahaan BUMN itu telah memiliki reputasi baik di tingkat internasional.
"Kasus ini sifatnya pribadi. Semoga tidak ada dampak negatif pada Garuda agar perkembangannya tetap baik," tutur Agus.
Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia Benny S Butarbutar sebelumnya juga menyebutkan, penggeledahan KPK di kantor BUMN yang bergerak di sektor transportasi itu tidak berkaitan dengan kegiatan korporasi, tapi perseorangan.
Sebagai perusahaan publik, Benny mengklaim Garuda Indonesia telah memiliki mekanisme dalam seluruh aktivitas bisnis, mulai dari penerapan sistem GCG yang diterapkan secara ketat hingga transparansi informasi. Ia berjanji, perusahaannya akan bersikap kooperatif kepada penyidik.
KPK sebelumnya telah menetapkan Emir menjadi tersangka kasus dugaan suap pembelian mesin pesawat jenis Airbus dari Rolls Royce. Selain Emir, KPK juga menetapkan status Soetikno Soerjadi menjadi tersangka pemberi suap. Soetikno adalah pengendali utama atau beneficial owner Connaught International Pte. Ltd. Emir diduga menerima suap dari Soetikno berupa barang dan uang dalam beberapa mata uang senilai sekitar Rp20 miliar.