Patrialis Akbar Terjerat Suap, KY Diminta Awasi Hakim MK

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Jan 2017 16:10 WIB
Perlu ada lembaga ad hoc untuk mengawasi hakim konstitusi. Pengawasan tak bisa mengandalkan dewan etik karena lembaga itu dibentuk oleh MK.
Pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi disebut tak cukup hanya dengan mengandalkan Dewan Etik bentuk MK. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keberadaan dewan etik di Mahkamah Konstitusi dianggap tak cukup untuk mengawasi tindakan dan perilaku hakim di lembaga tersebut. Komisi Yudisial (KY) kembali diusulkan untuk memperkuat pengawasan terhadap hakim konstitusi.

Mantan Ketua KY Suparman Marzuki mengatakan dewan etik tak bisa sepenuhnya dipercaya untuk mengawasi kinerja MK. Sebabnya, badan tersebut merupakan bentukan internal MK.

Daripada menyerahkan pengawasan pada dewan etik, menurut Suparman, MK baiknya kembali memperkuat dan mempercayai KY untuk mengawasi mereka. Selain itu, crisis centre juga dapat dibentuk untuk memperkuat pembenahan internal MK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak hakim mengatakan tak keberatan sedikit pun untuk diawasi. Tidak perlu defensif, negara ini butuh perubahan. Sekarang waktunya bagi internal MK membuat langkah-langkah besar. Bikinlah tim crisis centre karena ini krisis besar. Dewan etik tidak cukup, itu bikin saja ad hoc kalau ada pelanggaran dibentuk," kata Suparman di Menteng, Jakarta, Sabtu (28/1).

Menurut Suparman, UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebenarnya telah menyebut MK masuk dalam objek pengawasan KY. Namun, pengawasan terhadap MK tak bisa lagi dilakukan pasca Mahkamah Agung melakukan judicial review atas peraturan tersebut.
Ketiadaan pengawasan oleh KY, menurut Suparman, menjadi sebab hakim konstitusi terjerat kasus korupsi dan suap. Sebelum Patrialis, hakim konstitusi yang pernah terjerat kasus suap adalah Akil Mochtar.

"Hal semacam ini akhirnya berujung pada keadaan yang menimpa bangsa ini. Ini kan bukan masalah MK saja. Kalau begini maka ketidakpercayaan muncul dan otomatis masyarakat menjadi tidak percaya," katanya.

Peraturan Presiden

Karena pertimbangan tersebut, Suparman pun meminta revisi UU MK dilakukan dalam waktu dekat. Sementara, anggota Komisi Hukum DPR RI Syaiful Bahri Ruray berkata bahwa perubahan aturan juga dapat dikeluarkan melalui Peraturan Presiden.
Perombakan aturan diperlukan untuk memperketat pengawasan terhadap MK dan memperbaiki sistem rekrutmen hakim konstitusi kedepannya.

"Kalau tidak diatur, masing-masing lembaga akan suka-suka. Kalau ini terjadi, social distrust bisa menumpuk. Makanya perlu ada format rekrutmen yang mengikat. Diatur di UU boleh, PP boleh karena itu turunan dari UU," kata Syaiful. (wis/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER