Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dijadwalkan bertemu dengan pimpinan Mahkamah Agung (MA) hari ini, Selasa (14/2). Juru Bicara MA Suhadi memastikan, MA akan mengeluarkan pendapat jika diminta oleh lembaga negara untuk memperjelas sebuah status.
Namun hingga kini, Suhadi mengaku belum ada informasi mengenai jadwal pertemuan antara Tjahjo dengan para pimpinan di MA.
“MA berwenang mengeluarkan pendapat jika diminta atau atas inisiatif sendiri. Tapi dalam praktik, selalu diminta,” kata Suhadi ketika dihubungi, Selasa (14/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suhadi menjelaskan, permintaan biasanya disampaikan secara tertulis oleh lembaga yang membutuhkan jawaban MA. Atas permintaan tersebut, MA biasanya membentuk tim yang terdiri dari para hakim agung, baik tim pidana, perdata, atau pun tata usaha negara.
Tim selanjutnya akan membahas, yang biasanya juga tidak memakan waktu lama karena langsung melakukan kajian berdasarkan produk hukum yang sudah ada.
“Apalagi terhadap isu-isu yang penekanannya harus segera diputuskan, biasanya enggak terlalu lama,” ujar Suhadi.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmadji mengatakan, rencana Tjahjo menemui pimpinan MA untuk memantapkan keputusan pemerintah tidak menerbitkan status nonaktif untuk Ahok.
Namun lantaran keputusan tersebut memunculkan polemik hingga memicu pengajuan hak angket di DPR, Jokowi merasa perlu mendapat kepastian hukum sehingga memerlukan pandangan MA.
“Presiden ingin mantap. Karena dari ahli hukum, politik, hingga di DPR itu simpang siur. Jadi ingin agar ada kejelasan dalam keputusan ini,” tutur Dodi ketika dihubungi.
Dalam kasus dugaan penodaan agama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ahok dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Ketentuan Pasal 156a KUHP menyebutkan, dipidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan suatu agama; (b) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156 KHUP menyatakan, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Sementara norma terkait terdakwa yang harus diberhentikan sementara terdapat pada Pasal 83 ayat 1 UU Pemda.
Pasal itu menyebutkan, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usul DPRD karena didakwa dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus sebelumnya menilai, jika melihat Pasal 156a dan 156 KUHP, maka ketentuan itu tidak dapat diterapkan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 83 ayat 1 UU Pemda.
Alasannya, ketentuan itu secara limitatif mensyaratkan perbuatan pidana yang diancam paling singkat, bukan paling lama.