Jakarta, CNN Indonesia -- Patrialis Akbar menerima draf putusan uji materi Undang-undang 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dari panitera pengganti, yakni Ery Satria Pamungkas. Draf itu diterima Patrialis setelah meminta sekretaris yustisial pribadinya, Suryo Gilang Ramadhon, untuk mencetaknya.
Namun, karena bukan kewenangan sekretaris yustisial, Suryo menghubungi Ery untuk mencetak draf putusan tersebut. Hal ini terungkap dalam sidang pembacaan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/2).
“Bahwa pada 19 Januari 2017, sekretaris yustisial (Suryo) menghubungi panitera pengganti (Ery) via
whatsapp yang menyatakan bahwa hakim terduga (Patrialis) meminta agar draf putusan paling akhir dapat dicetak,” ujar Anggota MKMK Ahmad Sodiki saat membacakan amar putusan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Ery mencetak draf putusan itu dan diantarkan ke ruang Suryo. Meski bersifat rahasia, Ery mengaku bersedia mencetak draf tersebut. Patrialis termasuk anggota hakim panel yang menangani perkara tersebut.
Selain itu, Ery menyebutkan, terbiasa langsung menyerahkan draf putusan tanpa sepengetahuan ketua panel hakim maupun panitera. Rupanya, hal tersebut juga biasa dialami Suryo yang kerap diminta bantuan Patrialis untuk mencetak draf putusan melalui panitera pengganti.
Namun demikian, Suryo mengklaim, tak tahu menahu isi draf putusan itu. “Seingat saksi sekretaris yustisial tidak pernah menerima draf putusan dalam format softcopy dari panitera pengganti,” tutur dia.
Sesuai aturan internal yang berlaku di MK, arsip putusan sedianya disimpan dalam ruangan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang selalu dikunci. Dari keterangan panitera Kasianir Sidauruk, membuka arsip di dalam komputer tidak mudah, karena memiliki kode khusus.
Arsip putusan tersebut baru dapat dibuka berdasarkan perintah majelis hakim, panitera, panitera muda I, dan panitera pengganti, sehari sebelum pembacaan putusan. Draf putusan tersebut kemudian digandakan menjadi sembilan rangkap untuk dibagikan pada masing-masing hakim.
Memang, Kasianir mengungkapkan, terkadang hakim meminta draf putusan lebih awal. Sebagai pembantu hakim, panitera pun sulit menolak. Terlebih, hal ini tidak tercantum dalam tanda terima. Melainkan, hanya tertulis dalam notulen RPH.
“Untuk perbaikan sistem ke depan, jika ada hakim yang meminta draf putusan harus melalui satu pintu. Yakni, panitera dan dibuatkan tanda terima. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” tutur Ahmad menirukan ucapan Kasianir.
Sebagai informasi, Patrialis menunjukkan draf putusan itu kepada tersangka perantara suap, Kamaludin, di Gedung MK. Ketika ditunjukkan, Kamaludin sempat meminta izin Patrialis untuk memotret draf putusan tersebut sebanyak dua kali, terutama di bagian pertimbangan hukum dan amar putusan.
Foto draf putusan itu lantas dikirimkan kepada pemberi suap, Basuki Hariman. Patrialis telah mengakui kesalahannya di hadapan anggota MKMK. Ia menyampaikan telah melakukan pelanggaran kode etik dan ikhlas dicopot dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
“Hakim terduga mengakui melakukan pelanggaran etik, namun bukan tindak pidananya. Pada saatnya nanti, hakim terduga akan menjelaskan mana pelanggaran etik yang dilakukannya,” imbuhnya.
MKMK telah resmi mencopot Patrialis secara tidak hormat. Mereka menyatakan, Patrialis terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik perilaku hakim konstitusi.