Penerapan Perma Korporasi Harus Temukan Kesalahan Badan Usaha

M. Andika Putra | CNN Indonesia
Rabu, 22 Feb 2017 06:45 WIB
Ada dua pendekatan untuk menemukan kesalahan korporasi. Menjerat badan usaha tanpa kesalahan bisa menjadi bumerang.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan perma memberikan kepastian pada korporasi.(CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dosen Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyatakan implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi harus menemukan kesalahan yang dilakukan perusahaan.

"Kesalahan korporasi dibutuhkan. Menjerat korporasi tanpa kesalahan bisa jadi bumerang," kata Agustinus, Selasa (21/2).

Agustinus menjelaskan ada dua pendekatan untuk menemukan kesalahan korporasi. Pertama pendekatan turunan, dengan pendekatan ini penyelidik bisa menemukan kesalahan korporasi secara langsung. Seperti melihat notulensi hasil rapat dewan direksi.
Pendekatan itu, kata Agustinus, tidak terlalu sulit tetapi harus dilakukan dengan teliti. Bisa saja ada perusahaan yang membahas atau merencanakan tindak pidana saat rapat namun tidak ditulis notulen berdasarkan persetujuan dewan direksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, pendekatan direktif, pendekatan ini dilakukan untuk mencari petunjuk atau indikator kesalahan suatu korporasi. Penyelidik bisa mencari tahu suatu korporasi melakukan hal yang tidak sesuai hukum dan dilakukan dengan serius.

"Kesalahan korporasi bisa saja bisa datang dari belakang, misal ketika ada pegawai dengan inisiatif menyuap yang menguntungkan korporasi. Korporasi tidak beraksi atas tindakan itu atau bereaksi positif karena ternyata suap memberi keuntungan," kata Agustinus.
Agustinus menjelaskan cara itu bisa disesuaikan dengan pasal 4 ayat 2 Perma Nomor 13 Tahun 2016. Pasal itu berbunyi:

Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) 
antara lain: a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau 
manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; 
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyampaikan penjelasan serupa. Selain memberi kepastian pada penegak hukum, perma ini juga memberikan kepastian pada korporasi. Penegak hukum tidak bisa sembarang menindak pidana korporasi.

"Kami perlu tekankan, kami tidak bisa masuk di daerah abu-abu dalam pidana korporasi, karena KPK enggak boleh Surat Pemberhentian Penyidikan (SP3). Jadi nanti harus ada kepastian," kata Saut. (yul)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER