Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin menyebut lembaganya menolak menafsirkan pasal 83 ayat 1 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah karena tidak ingin mengganggu independensi hakim yang sedang memeriksa perkara dugaan penodaan agama atas terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.
Permintaan penafsiran diajukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Sejumlah pihak mempertanyakan keputusannya yang tidak menonaktifkan Basuki alias Ahok yang berstatus terdakwa dari jabatan gubernur DKI Jakarta.
"Karena ada dua gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalau kami memberikan fatwa, itu akan menggangu independensi hakim," kata Syarifuddin di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (21/2).
Dua gugatan yang dimaksud Syarifuddin adalah gugatan terhadap keputusan Tjahjo yang diajukan Advokat Cinta Tanah Air dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat gugatan tersebut, dua organisasi itu menilai keputusan Tjahjo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Syarifuddin menyarankan Tjahjo dan dua kelompok penggugat itu menunggu putusan PTUN "Kalau MA beri fatwa, itu seperti MA yang memutuskan, padahal pengadilan kan mesti berjalan," ujarnya.
Juru Bicara MA Suhadi menyampaikan penjelasan serupa. Ia berkata, MA tidak selalu menerima permohonan fatwa atas sebuah peraturan.
"MA mencegah diri untuk memberikan petunjuk karena itu bisa mempengaruhi jalannya peradilan," kata Suhadi.
Adapun, Suhadi menyebut fatwa MA tidak mengikat atau harus selalu dilakukan pemohon. Ia menuturkan, tindakan atas fatwa MA diserahkan kepada pemohon.
(abm/obs)