Jakarta, CNN Indonesia -- Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Matahari sedang bersinar dengan terangnya. Tapi panas terik siang itu, Jumat (3/3) tidak mematahkan semangat beberapa orang anak yang tinggal di RT 04 RW 04 Kelurahan Cipinang Melayu untuk berlomba menangkap ikan di genangan air yang tersisa di jalanan rumah mereka.
Banjir memang kembali merendam kawasan tersebut pada malam sebelumnya. Ketinggian maksimal air di malam hari tidak lebih dari 70 cm. Namun menurut pengakuan para warga, hari itu surutnya jauh lebih lama. Sudah lewat tengah hari, tapi masih terlihat genangan airnya.
Sementara anak-anak bermain di genangan air, para ibu tampak sibuk membersihkan lantai rumah mereka. Kegiatan rutin yang pastinya harus dilakukan saat banjir yang merendam rumah mereka mulai surut perlahan. Melelahkan memang, mereka sendiri mengakuinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, kata salah seorang warga, kalau sudah memasuki musim hujan, datangnya banjir bisa lebih ketat dari jadwal minum obat yang biasa diresepkan para dokter. Tiga kali dalam sehari.
Namun demikian, mereka pun enggan meninggalkan kawasan yang menjadi langganan banjir ini. Sudah terbiasa, kata mereka. Sebagian besar warga adalah mereka yang sudah tinggal lebih dari satu dekade di Cipinang Melayu.
 Penanganan banjir di Cipinang Melayu. ( ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
Hunian yang mereka tempati, meskipun sangat sederhana, adalah peninggalan dari orang tua, bahkan kakek atau nenek mereka. Menyimpan kenangan dan cerita para penghuninya, dengan segala kekurangannya.
Pada akhirnya, mereka memilih untuk berdamai dengan bencana. Melakukan berbagai cara untuk beradaptasi dengan banjir yang sewaktu-waktu dapat merendam rumah mereka.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, sebagian besar rumah warga di RW 04 Kelurahan Cipinang Melayu yang terdampak banjir paling parah memang berlantai dua. Maka saat air kembali menggenangi rumah mereka, mereka akan memilih untuk memusatkan segala kegiatan ke lantai dua.
Seperti cerita M. Jasmani Suhandi (62), seorang pensiunan swasta yang saat ini berprofesi sebagai guru mengaji.
"Saya pindah (ke Cipinang Melayu) 1992, terus 1997 banjir besar banget. Kaget juga. Karena sewaktu pindah ke sini, tidak pernah banjir katanya," ujar Anjas, panggilan Jasmani.
Saat itu ia terpaksa membuka genteng rumahnya sendiri agar bisa dievakuasi. Sebab, lanjut Anjas, ketinggian air sudah menutupi hampir keseluruhan rumahnya. "Perabotan juga keluar (hanyut) semua," kata anjas.
Setelah bencana itu, ia kemudian merenovasi rumahnya dengan cara menambah jumlah lantai dan membuat balkon. Ia juga meninggikan lantai rumahnya.
 Gubernur Ahok saat meninjau penanganan banjir pada Februari lalu. ( CNN Indonesia/Filani Olyvia) |
Jika diperhatikan, cukup banyak warga Cipinang Melayu yang mengambil langkah serupa. Tampak jelas usaha meninggikan lantai rumah tersebut di kediaman kakak beradik Siti Rohani (54) dan Hasan Basri (47) yang rumahnya akan di gusur guna mempercepat pengerjaan proyek normalisasi Sungai Sunter.
Penambahan tinggi lantai rumah Sitin Rohani cukup mencolok, sekitar 30 cm. Karena lantai rumah yang sangat tinggi, jendela rumahnya jadi terlihat sangat pendek. Lantai yang bertambah tinggi itu juga membuat langit-langit ruangan menjadi sangat pendek, tidak seperti jarak normal rumah pada umumnya. Begitu juga dengan posisi saklar lampu yang lebih rendah dari biasanya.
Mereka yang tidak mampu membangun balkon atau meninggikan lantai rumahnya, kemudian memilih untuk membuat balai-balai (tempat tidur yang terbuat dari bambu atau kayu) di bawah loteng rumah mereka.
Seperti Ella (37) yang sejak tujuh belas tahun terakhir bertahan di garis bibir Sungai Sunter bersama suami dan tiga orang anaknya.
"Kalau sudah musim banjir, saya bikin balai-balai yang tingginya satu setengah meter. Nanti nangkring (duduk) saja di sana, dari pada
ngungsi, pasti enggak bisa tidur," ujar Ella.
Baginya, banjir adalah fenomena alam yang tak terelakkan. Sekali pun pengerjaan proyek normalisasi sungai selesai. Masalahnya hanyalah, berapa lama genangan air tersebut bertahan di satu daerah.
Oleh sebab itu, ia keberatan jika harus digusur dari rumahnya. "Orang banjirnya enggak setiap hari ini, cuma setahun sekali. Aku sih, mending kebanjiran," kata Ella.
Apalagi jika pilihan yang ditawarkan pemerintah adalah berpindah ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa). "Kalau rusunnya jauh, nanti sekolah anak-anak bagaimana? Kalau pindah sekolah kan, biaya lagi. Lagian, di tempat baru pasti harus beradaptasi lagi. Di sini sudah enak," kata Ella.
Kawasan Cipinang Melayu jadi target Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk digusur pada April nanti. Normalisasi Sungai Sunter yang membelah kawasan ini akan segera dilanjutkan. Pemprov DKI Jakata sendiri sudah menyediakan 800 unit rusun untuk menampung warga.
Tepi sungai sekitar 3 kilometer akan dipangangi beton, dibangun jalan inspeksi dan dikeruk kembali suanginya untuk mengembalikan daya tampung air. Normalisasi ini membuat warga yang tinggal di kawasan bantaran sungai harus dipindahkan.
(sur/obs)