Jakarta, CNN Indonesia -- Perayaan hari Perempuan Internasional kemarin menjadi momentum bagi kaum perempuan di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-haknya yang masih kurang diperhatikan. Tak terkecuali perempuan nelayan Indonesia yang tersebar di 10.666 desa pesisir di Indonesia.
Adalah Rohmanah (42) perempuan nelayan asal Muara Angke salah satunya. Pekerjaan sehari-hari Rohmanah adalah pengepul kerang hijau selain membantu suaminya menggarami ikan untuk dijadikan ikan asin.
"Saya dari kecil sudah bersinggungan sama laut dan ikan, saya tahu rasanya bagaimana menjadi perempuan di lautan yang sering dipandang sebelah mata dibanding laki-laki," kata Rohmanah saat ditemui CNNIndonesia.com di Jakarta, kemarin (8/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjalani hidup sebagai seorang nelayan perempuan dia akui terasa sulit. Bahkan dia sudah memutuskan untuk menikah sejak usia 16 tahun demi mempermudah akses pelayanan masyarakat dan memperbaiki kualitas kehidupannya.
"Saya hanya lulusan SD, dulu itu perempuan apa lagi sih selain nikah, punya anak, ngurus suami, begitu juga saya, makanya saya menikah muda," kata Rohmah,
Meskipun begitu, kata Rohmanah, menjalani hidup sebagai perempuan saat ini tidak sesulit ketika dia muda dulu. Saat ini banyak kebijakan-kebijakan pemerintah apalagi di bidang maritim yang sudah lebih responsif terhadap gender.
"Sekarang sudah agak longgar, meskipun memang budaya patriaki di Indonesia masih kuat, tapi setidaknya sudah ada aturan pelibatan perempuan dalam urusan rumah tangga, meskipun praktiknya masih sangat lambat," kata Rohmanah.
 Rohmanah (ketiga dari kanan) bersama aktivis perempuan di acara aksi International Womens Day, Jakarta. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini mulai berusaha memperhatikan keterlibatan peran perempuan dalam setiap kegiatan kehidupan sosial. Terlebih yang menyangkut kegiatan kemaritiman. Hal itu setidaknya tersecermin dengan Undang-Undang No.7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam pada 15 Maret 2016 lalu.
Pada pasal 45, kegiatan pemberdayaan harus memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan juga rumah tangga petambak garam. Pasal ini menegaskan kewajiban negara untuk meningkatkan keterlibatan dan peran perempuan nelayan dalam setiap kegiatan usaha dibidang perikanan dan kelautan hingga skala paling kecil, yaitu keluarga.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, terbitnya Undang-Undang tersebut merupakan salah satu bukti nyata dalam upaya pembelaan hak-hak konstitusional perempuan nelayan.
"Pemerintah sudah lebih responsif gender, namun tetap praktiknya pun harus lebih diperhatikan, ada hitam di atas putih berarti harus ada pergerakan yang nyata," kata Abdul kepada CNNIndonesia.com.
 Gabungan masa dari buruh, aktivis perempuan, aktivis lingkungan dan HAM melakukan aksi di depan Patung Arjuna Wijaya, Rabu, 8 Maret 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Agar UU tersebut memberikan manfaat luas kepada perempuan, kata Abdul, maka kinerja kemaritiman pun harus disertai dengan alokasi anggaran yang diorientasikan untuk mengatasi perbedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan bagi perempuan nelayan.
"Harus sinergi, UU tersebut ada untuk memberikan perlindungan bahkan beberapa pasal menunjukan persamaan, maka ketika pemerintah berniat untuk membangun sesuatu tentunya harus melibatkan peran perempuan, dari segi gagasan atau persetujuan," kata dia.
Kinerja pemerintah di sektor kemaritiman saat ini terbagi ke beberapa bidang. Ada kelautan dan perikanan, pariwisata dan ekonomi kreatif, energi dan sumber daya mineral, hingga perhubungan.
Pembangunan di sektor kemaritiman pun terus-menerus dilakukan, mulai dari perbaikan pasar perikanan, penambahan galangan kapal, hingga membangun unit pengolahan ikan di kawasan-kawasan terpencil.
"Sayangnya tidak semua itu melibatkan perempuan, dari mulai tahap gagasan, hingga eksekusi di lapangan," kata Abdul.
 Gabungan masa dari buruh, aktivis perempuan, aktivis lingkungan dan HAM melakukan aksi di depan Patung Arjuna Wijaya, Rabu, 8 Maret 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Abdul mengatakan saat ini banyak program kerja pemerintah untuk perempuan nelayan yang justru dijalankan secara sporadis. Sehingga programnya pun tak berjalan sesuai rencana.
Pada 2016 misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri No 28 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Program Resposif Gender KKP. Sayangnya, program tersebut menurut Abdul masih lambat dan kurang cekatan dalam mengurusi pengarusutamaan gender di Indonesia, khususnya untuk nelayan perempuan.
"Program bagus, sayangnya sekali lagi pemerintah sangat lambat terbukti masih banyak perempuan nelayan yang tidak bisa memberikan ide atau gagasannya terkait pembangunan di daerahnya sendiri," kata dia
Sekrteraris Jendral KKP Rifky Effendi Harjanto secara terpisah membantah hal tersebut. Sejauh ini menurut dia pihaknya telah mencoba memperjuangkan hak-hak nelayan perempuan dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang lebih ramah terhadap perempuan.
"Secara umum kami sudah memperhatikan kesetaraan gender, pembangunan apapun kami telah mencoba melibatkan peran perempuan dalam eksekusinya," kata dia.