Jakarta, CNN Indonesia -- Kain putih sepanjang 20 meter membentang di pelataran Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 3 Maret 2015. Kala itu, Wadah Pegawai (WP) KPK yang diketuai Faisal menggelar aksi unjuk rasa menentang putusan pimpinan yang melimpahkan penanganan perkara Komisaris Jenderal Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.
KPK saat itu tengah diguncang isu kriminalisasi. Dua pimpinannya, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dijadikan tersangka. Membuat Presiden Joko Widodo menunjuk Taufiequrrachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK.
Rukilah yang kala itu mesti menghadapi tiga tuntutan Wadah Pegawai.
Menanggapi aksi itu, Ruki bersama Plt pimpinan Indriyanto Seno Adji, menggelar diskusi tertutup dengan Wadah Pegawai di Ruang Auditorium KPK. Namun diskusi itu tidak mampu memenuhi tuntutan Wadah Pegawai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami tetap pada tuntutan kami sebelumnya,” kata Faisal saat itu.
Tahun 2015 memang merupakan periode yang menguras energi bagi KPK, yang akibatnya berdampak langsung bagi para pegawai yang bernaung di bawah bendera Wadah Pegawai. Di antara tugas berat yang harus dipikul, bertubi-tubi persoalan menghantam lembaga antikorupsi itu.
Persoalan sudah muncul di awal tahun, ketika pada 23 Januari 2015, Samad dan Bambang dijadikan tersangka dan sempat akan ditahan. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut oleh KPK pada 13 Januari 2015 disebut-sebut menjadi penyebab kriminalisasi Samad dan Bambang.
Berselang bulan, giliran penyidik utama KPK Novel Baswedan, yang ditangkap. Dia dijemput di kediaman pribadinya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada dini hari, 1 Mei 2015, atas sangkaan menganiaya seorang tersangka pencurian sarang burung walet hingga tewas.
Kasus sarang burung walet itu terjadi tahun 2004, ketika Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu. Dia dijadikan tersangka delapan tahun kemudian, 1 Oktober 2012, dan dijemput paksa 1 Mei 2015.
Wadah Pegawai kembali bergerak mendengar upaya kriminalisasi terhadap Novel. Mewakili Wadah Pegawai, Faisal menegaskan, dia bersama rekan-rekannya siap ‘perang’ membela Novel.
“Novel, Anda ditangkap karena berani berdiri di jalan yang benar. Keberanianmu menegakkan keadilan dan memberantas korupsi menginspirasi kami dan rakyat untuk lebih merapatkan barisan dan berjuang,” mengutip pernyataan resmi Wadah Pegawai kala itu.
Faisal ketika itu juga menyindir Polri dan Kejaksaan untuk serius menangani perkara lain, alih-alih ‘mengganggu’ Novel. "Masih banyak kasus besar yang seharusnya menjadi perhatian utama polisi dan kejaksaan," kata Faisal.
Dalam kesempatan lain jauh sebelumnya, Wadah Pegawai bersikap tentang situasi yang terjadi di KPK. Pada 3 November 2009—saat mencuat Cicak vs Buaya Jilid I—mereka beramai-ramai ‘menantang’ Polri setelah dua pimpinan KPK waktu itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah, ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang.
Ratusan pegawai mengumpulkan tanda tangan, meminta penangguhan penahanan Bibit dan Chandra. Wadah Pegawai saat itu diketuai oleh Johan Budi Sapto Pribowo, yang sekaligus Juru Bicara KPK—kini Juru Bicara Presiden.
Rekam JejakIsu teranyar yang disikapi Wadah Pegawai adalah keberatan mereka atas nota dinas Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman terkait rekrutmen penyidik. Nota dinas Aris kepada pimpinan KPK yaitu meminta perwira tinggi Polri untuk dijadikan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) penyidikan.
Wadah Pegawai KPK memang terkesan melawan, namun demi eksistensi KPK.
Ada tiga alasan yang membuat Wadah Pegawai keberatan dengan isi nota dinas tersebut.
Permintaan agar perwira tinggi Polri menjadi Kasatgas Penyidikan KPK tidak sesuai dengan prosedur; Wadah Pegawai mengkhawatirkan integritas perwira yang direkrut tanpa prosedur reguler; dan masih banyak penyidik di internal KPK yang memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi Kasatgas.
Akibat sikap itu, Ketua Wadah Pegawai Novel Baswedan mendapat Surat Peringatan 2 yang ditandatangani Ketua Agus Rahardjo, 21 Maret 2017.
Tindakan Agus yang menerbitkan SP 2 juga pernah dilakukan pimpinan KPK sebelumnya.
Wadah Pegawai didirikan pada November 2007 sebagai organisasi mitra pimpinan KPK, sekaligus kontrol sosial atas perilaku dan kebijakan yang dibuat. Tak hanya menjadi penampung aspirasi, Wadah Pegawai juga tak jarang dilibatkan dalam proses melahirkan kebijakan internal karena posisinya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK.
Ada tujuh pejabat dalam DPP KPK yaitu Sekjen, Deputi Pencegahan, Deputi Penindakan, Deputi Informasi dan Data, Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Kepala Biro Hukum, dan Kepala Biro SDM. Wadah Pegawai masuk dalam struktur DPP sebagai suara ke delapan.
Menurut Ketua Wadah Pegawai periode 2011-2013 Nanang Farid Syam, WP tak jarang membuat terkejut pegawai berlatar belakang birokrat yang masuk ke KPK.
“Kami memang menumbuhkembangkan sikap kritis dan egaliter di internal KPK. Walau tidak jarang juga, birokrat-birokrat yang masuk KPK terkaget-kaget karenanya,” Nanang bercerita kepada CNNIndonesia.com, Jumat (24/3).
Sikap kritis tersebut, lanjut Nanang, diperlukan untuk mengawal kebijakan internal KPK. Termasuk memastikan bahwa siapapun yang menjadi pimpinan lembaga antikorupsi itu, tetap menjalankan tugas sesuai dengan amanah pemberantasan korupsi.
“Karena memang sejak awal, setiap insan KPK diharapkan siap berhadapan dengan kebiasaan buruk birokrasi yang antikritik dan mungkin juga feodal,” tutur Nanang.