Jakarta, CNN Indonesia -- Bekerja sebagai pegawai, termasuk penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Meski kerja mereka kerap diintai ancaman hingga teror.
Dari penelusuran CNNIndonesia.com, kerja-kerja penyidik KPK ‘diganggu’ ketika mengusut kasus dugaan korupsi yang menyeret nama besar. Termasuk kasus yang melibatkan anggota Polri.
Pada 2012, saat KPK menangani dugaan korupsi proyek ujian simulator surat izin mengemudi (SIM) Korps Lalu Lintas Polri, penyidiknya mendapat gangguan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu, 20 penyidik KPK ditarik oleh Korps Bhayangkara.
Satu di antara 20 penyidik itu tengah menangani kasus yang membuat bekas Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ternyata kisruh kasus yang menjerat perwira tinggi Polri tak sampai di situ.
Penyidik KPK Novel Baswedan pun kena getahnya. Pada akhir 2012, Novel dijadikan tersangka penganiayaan tak berselang lama dari penetapan Djoko sebagai tersangka KPK.
Hubungan KPK-Polri sempat memanas.
Pada waktu yang sama Novel dan sejumlah penyidik Polri memilih menjadi pegawai KPK dan bertugas sebagai penyidik tetap.
Selang beberapa tahun, 'ancaman' kepada para penyidik KPK kembali mencuat saat lembaga superbodi itu mengusut dugaan rekening gendut Jenderal Budi Gunawan, yang menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada awal 2015. Kasus Novel yang sudah lama tak diusut, muncul kembali.
Novel ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Juni 2015. Saudara sepupu Anies Baswedan itu digelandang ke Mabes Polri atas tuduhan kasus penganiayaan berujung kematian pencuri sarang burung walet, yang menjeratnya pada 2012.
Tak hanya Novel, dua pimpinan KPK, Samad dan Bambang Widjojanto juga ditetapkan tersangka oleh Polri.
Penyidik dan anggota Biro Hukum KPK yang tengah menangani dugaan rekening gendut selain Novel, tak luput dari ancaman. Teror-teror melalui telepon dan pesan singkat berisi ancaman akan dibunuh, mereka terima.
Pada Juli 2015, rumah Komisaris Apip Julian Miftah, yang merupakan penyidik KPK, diteror bom. Teror tak hanya sekali dirasakan Apip.
Beberapa hari sebelumnya, ban mobil yang dia kendarai ditusuk hingga bolong. Selain itu, mobilnya juga disiram air panas.
Teror yang diterima Apip tak lepas dari sepak terjangnya di KPK. Saat teror dan ancaman datang menghampiri, Apip diketahui tengah menangani kasus besar kala itu.
Namun teror dan ancaman yang diterima penyidik dan pegawai KPK menguap begitu saja seiring berjalannya waktu. Tak diketahui siapa para peneror yang mengganggu kerja para penyidik dalam mengusut kasus dugaan korupsi yang ditangani KPK.
Bukan hanya serangan dari luar, keberadaan penyidik KPK yang independen pun mendapat adangan dari dalam.
Yang terbaru, Novel mendapat Surat Peringatan (SP) 2 dari Ketua KPK Agus Rahardjo, 21 Maret 2017. SP 2 itu diterbitkan untuk Novel selaku Ketua Wadah Pegawai, setelah dia keberatan dengan permintaan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman terkait rekrutmen penyidik.
Berdasarkan informasi yang diperoleh CNNIndonesia.com, Aris mengirim nota dinas kepada pimpinan yang meminta perwira tinggi Polri agar diangkat sebagai Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) penyidikan KPK. Permintaan ini membuat Novel merasa keberatan karena tiga alasan.
Pertama, permintaan perwira tinggi Polri sebagai Kasatgas Penyidikan di KPK tidak sesuai dengan prosedur; integritas perwira yang direkrut tanpa prosedur reguler dikhawatirkan; dan ketiga, masih banyak penyidik di internal KPK yang dianggap memiliki kapabilitas menjadi Kasatgas.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadja Mada Zainal Arifin Muhtar membenarkan anggapan itu. Bagi Zainal, para pegawai KPK sangat mudah memetakan serangan dari luar terhadap lembaga antikorupsi itu.
“Tetapi yang pembusukan di dalam ini yang berbahaya. Saya kira pimpinan KPK harus mau mendengar dan berdialog dengan lebih baik,” kata Zainal kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/3).
Zainal meminta pimpinan KPK mendengar pendapat Novel secara lebih detail, alih-alih memberikan sanksi bagi penyidik senior itu.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menekankan, ada pesan penting yang ingin disampaikan Novel atas keberatan dia terhadap nota dinas Direktur Penyidikan. Pesan ini yang seharusnya didengar pimpinan KPK.
"Mestinya pimpinan KPK mendengar aspirasi bawahan, bukan menggunakan otoritas kursif dengan menerbitkan SP 2," ujar Adnan kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/3).
Adnan memprediksi, tidak akan sulit bagi KPK merekrut penyidik sendiri. Yang dibutuhkan hanyalah membuat modul untuk jadi pegangan setiap penyidik baru maupun senior serta menetapkan standar untuk level pengetahuan dan kemampuan penyidik.
"Karena masalah korupsi itu multidisiplin, bicara ekonomi, keuangan. Arahnya untuk membuktikan tindak pidana terjadi. Semua orang yang dididik pasti bisa melakukannya," tutur Adnan.
Sementara itu, keberadaan penyidik KPK menjadi salah satu isu yang masuk dalam draf terbaru revisi UU KPK. Pada Pasal 45 draf revisi disebutkan, pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri, dengan sejumlah syarat.
Syarat tersebut yaitu pendidikan minimal S1, bertugas di bidang penyidikan minimal dua tahun, lulus pendidikan bidang penyidikan, sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan memiliki kemampuan serta integritas moral yang tinggi.