Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberian Surat Peringatan (SP) 2 kepada Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dinilai janggal. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, keberatan Novel atas nota dinas Direktur Penyidikan Aris Budiman sebagai upaya agar KPK tak bergantung dengan Polri.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menyatakan, hingga kini pimpinan KPK tidak pernah menegaskan dengan jelas kapan akan mulai merekrut penyidik independen tanpa bergantung pada pasokan dari Korps Bhayangkara.
“Posisi surat peringatan itu kalau kita lihat akar masalahnya apa? Ini soal isu penyidik. Mungkin saja Novel sedang ingin menyelamatkan KPK dari ketergantungan dengan lembaga penegak hukum lain, dalam hal ini Polri. Memang enggak sehat kalau KPK terus bergantung,” kata Adnan kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/3).
Menurut Adnan, penting bagi KPK untuk tidak bergantung dengan Polri dalam hal rekrutmen penyidik. Apalagi dari kejadian selama ini, seringkali KPK diganggu ketika dan setelah menyidik pejabat di lingkungan Polri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penetapan tersangka atas dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pada Januari 2015 memang dilakukan setelah lembaga antikorupsi itu mengumumkan status tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan beberapa hari sebelumnya.
Novel Baswedan juga diganggu setelah memimpin tim menggeledah Kantor Korps Lalu Lintas Polri ketika mengusut perkara simulator SIM yang menyeret Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo kala itu.
“Kita sudah belajar dari pengalaman ketika KPK selalu tersandera saat menangani perkara terkait penekgak hukum lain. Entah ada tindakan balasan, sampai kemungkinan ada bocor informasi di KPK karena faktor loyalitas ganda dari tenaga di KPK,” ujar Adnan.
Namun bahayanya, lanjut Adnan, pimpinan KPK periode 2015-2019 sekarang ini, tidak pernah menganggap bahwa keberadaan penyidik independen merupakan isu krusial. Dengan memberikan SP 2 kepada Novel yang keberatan atas keinginan merekrut perwira tinggi sebagai Kepala Satgas Penyidikan, menunjukkan bahwa pimpinan KPK justru membuat lembaganya bergantung dengan Polri.
“Upaya menangani korupsi harus berjalan beriringan, jangan terkesan by pass. Apalagi isunya, bukan hanya soal integritas, tapi soal kemampuan untuk menjaga rahasia atas kasus penyidikan,” ucap Adnan.
Lebar TelingaAdnan juga berkomentar atas SP 2 yang diberikan Ketua KPK Agus Rahardjo kepada Novel Baswedan. Menurutnya, Agus dkk harus mau mendengarkan aspirasi bawahan.
Alih-alih memberi sanksi atas keberatan Novel terhadap renana rekrutmen penyidik, lanjut Adnan, pimpinan KPK seharusnya duduk bersama untuk menyikapi isu penyidik.
“Posisi Mas Novel adalah Ketua Wadah Pegawai dan dia yang lebih lama di KPK daripada pimpinan. Mereka lebih paham bagaimana lembaga itu didesain dan dikelola. Pimpinan KPK harus lebih lebar telinga,” tutur Adnan.
Adnan melanjutkan, jika gaya kepemimpinan Agus Rahardjo dan empat pimpinan lainnya selalu seperti ini, maka akan terjadi perpecahan.
“Dosa ada di Agus dan pimpinan,” katanya.
Novel mendapat SP 2 yang ditandatangani Agus, 21 Maret lalu. SP 2 terbit lantaran Novel mewakili Wadah Pegawai keberatan dengan keinginan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman terkait rekrutmen penyidik.
Informasi yang diperoleh CNNIndonesia.com, Aris mengirim nota dinas kepada pimpinan KPK, meminta perwira tinggi Polri dijadikan Kasatgas penyidikan. Ada tiga alasan yang membuat Novel keberatan.
Pertama, meminta perwira tinggi Polri sebagai Kasatgas Penyidikan di KPK tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Kedua, Wadah Pegawai mengkhawatirkan integritas perwira yang direkrut tanpa prosedur reguler.
Ketiga, masih banyak penyidik di internal KPK yang dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi Kasatgas Penyidikan, sehingga diharapkan rekrutmen dilakukan dari internal terlebih dahulu.