Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, Sugiharto menyatakan bahwa mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Miryam S Haryani menerima uang sebesar US$1,2 juta atau sekitar Rp15,9 miliar. Sugiharto mengaku memberikan uang tersebut langsung kepada Miryam, sebagai bagian jatah dari proyek bancakan yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri itu, menyatakan menyerahkan uang kepada Miryam bertahap sebanyak empat kali.
"Saya ingin menyampaikan bahwa saksi ini telah menerima empat kali pemberian dari saya, berupa uang," kata Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (30/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugiharto menyampaikan keterangan ini saat mendapatkan kesempatan menanggapi kesaksian Miryam.
Sugiharto membeberkan, pertama kali memberikan uang kepada Miryam sebesar Rp1 miliar. Kemudian pemberian kedua sebesar US$500 ribu (sekitar Rp6,6 miliar). Lalu, pada pemberian ketiga, Sugiharto menyebut menyerahkan uang US$100 ribu (Rp1,3 miliar). Adapun pemberian terakhir sebesar Rp5 miliar.
"Jika ditotal pemberian itu sebesar US$1,2 juta," kata Sugiharto.
Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar-butar pun langsung meminta tanggapan Miryam atas tanggapan Sugiharto.
"Keterangan anda disangkal dari terdakwa. Ada empat pemberian. Bagaimana?" tanya Hakim John.
"Tidak, tidak, tidak ada," timpal Miryam.
Hakim John mengatakan bahwa bantahan-bantahan yang dilontarkan Miryam selama jalannya sidang merupakan hal lumrah. Menurutnya, Majelis Hakim yang nantinya akan menentukan kebenaran.
"Ini biasa dalam dunia peradilan, kesaksian A belum tentu diikuti kesaksian B dan begitu sebaliknya. Nanti hakim yang menentukan mana kebenaran," tandasnya.
Jaksa Minta Majelis Hakim Jerat Miryam
Menjelang penutupan sidang, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta agar Majelis Hakim mengingatkan Miryam, sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KUHAP.
"Merujuk pada Pasal 174 KUHAP, kami minta yang mulia menetapkan yang bersangkutan memberikan kesaksian palsu dan dilakukan penahanan," kata Jaksa Irene Putri.
Pasal tersebut menyatakan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang meperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Kemudian, bila saksi tetap pada keterangannya, ketua Majelis Hakim karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
Menjerat saksi yang memberikan kesaksian palsu pada kasus korupsi pun diatur tersendiri dalam Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mendengar permintaan tersebut, Hakim John tak langsung mengiakannya. Menurut Hakim John, pihaknya masih perlu mendengar kesaksian dari para pihak lainnya dalam proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
"Kami pikir, nanti dulu sambil mendengarkan kesaksian yang lain. Tidak menutup kemungkinan suatu saat kami meminta anda (Miryam) dihadirkan kembali," tandasnya.