KPK Intensif Bahas Pasal untuk Jerat Miryam Haryani

CNN Indonesia
Senin, 03 Apr 2017 20:38 WIB
KPK mempertimbangan penggunaan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Tipikor untuk menjerat mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani.
Miryam S Haryani saat menjalani sidang kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah membahas penggunaan pasal untuk menjerat mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani. Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut pernyataan majelis hakim dalam persidangan e-KTP sebelumnya, Kamis (30/3).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut pasal untuk menjerat Miryam adalah Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Apakah penerapan Pasal 21 atau Pasal 22 UU Tipikor? Nah, itu sedang kami bahas secara intensif saat ini," kata Febri di Gedung KPK, Senin (3/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Febri belum bisa bicara lebih lanjut soal kemungkinan Miryam menjadi tersangka baru dalam proyek yang disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun itu. Pasalnya, proses pembahasan masih terus dilakukan KPK.

"Kami belum bisa menyebutkan tersangka baru, karena prosesnya sedang berjalan untuk kepentingan pengembangan perkara," kata Febri.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, sesuai Pasal 174 KUHAP, untuk menjerat Miryam. Jaksa KPK menilai, Miryam berbelit-belit dan tak konsisten memberikan keterangannya dalam persidangan Irman dan Sugiharto.

Namun, Ketua Majelis Hakim John Halasan Butar-butar masih ingin mendengarkan keterangan para saksi yang akan dihadirkan dalam sidang perkara korupsi e-KTP, dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

Untuk diketahui, Pasal 21 UU Tipikor berbunyi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Sedangkan Pasal 22, berbunyi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Miryam sendiri diketahui mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat diperiksa penyidik KPK. Dia mengklaim mendapat ancaman dari penyidik KPK, sehingga memberikan keterangan agar bisa cepat menyelesaikan proses pemeriksaan. Ia berkilah mengetahui proses pembahasan proyek e-KTP.

Febri meminta para saksi yang akan memberikan keterangan di persidangan Irman dan Sugiharto memberikan kesaksian secara jujur, lantaran mereka telah mengucap sumpah. Apalagi setiap keterangan yang mereka sampaikan di depan majelis hakim memiliki konsekuensi hukum.

"(Kami berharap) agar para saksi bicara jujur. Karena jika saksi tidak benar di bawah sumpah itu miliki risiko pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun (penjara). Akan lebih baik bagi saksi yang kooperatif," tutupnya.

Miryam sendiri dalam dakwaan dua mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, berperan membagi-bagikan uang kepada sejumlah anggota DPR.

Pada persidangan, Kamis (29/3), mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto menyatakan menyerahkan uang kepada Miryam bertahap sebanyak empat kali, dengan total US$1,2 juta.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER