Jakarta, CNN Indonesia -- Penggagas Komunitas Ciliwung Merdeka Ignatius Sandyawan Sumardi menilai banyak ketidakwajaran selama proses penempatan serta pemindahan warga terdampak penggusuran terkait normalisasi Sungai Ciliwung.
Sandyawan menilai ada upaya propaganda untuk mengaburkan atau manipulasi data soal penggusuran tersebut.
"Untuk menghindari kecenderungan menggeneralisasikan permasalahan ke arah yang semakin kabur, kami sengaja menyampaikan fakta dan data dari proses penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan ini," ujarnya di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, pada Senin (3/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penelitiannya, setidaknya ada 400 bidang tanah dan bangunan milik warga Bukit Duri di RW 09, 10, 11 dan 12 yang digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Oktober 2016 silam.
Saat itu, Pemprov DKI menjanjikan 400 unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara sebagai ganti rugi kepada mereka yang terdampak. Namun berdasarkan data yang diperoleh Ciliwung Merdeka hingga akhir Maret 2017, dari 400 kepala keluarga hanya 121 unit atau sekitar 30,25 persen yang menerima rusunawa.
Mereka merupakan korban penggusuran di Bukit Duri. Dari 121 unit itu, sebanyak dua belas unit atau tiga persen masih kosong.
Sedangkan, 267 unit lainnya atau 66,75 persen justru dihuni oleh bukan korban penggusuran di Bukit Duri. Sebagian besar mereka tidak memiliki hak atas tanah atau bangunan yang mereka tempati. Sebagian lagi tinggal di rusunawa dengan peta bidang milik orang lain.
"Jumlah penerima rusunawa yang bukan korban langsung (penggusuran) tersebut telah mengalami peningkatan selama setahun ini. Dari sebelumnya hanya 225 unit pada Oktober 2016," kata Sandyawan.
Menurutnya, hal ini terjadi lantaran proses penetapan bentuk ganti rugi oleh Pemprov DKI Jakarta kepada warga yang terdampak proyek normalisasi Sungai Ciliwung, berjalan tanpa memperhatikan aspek keterbukaan informasi publik.
Pemberian maupun pendistribusian unit di rusunawa, kata Sandyawan, tampak hanya berdasarkan penilaian subyektif dari pelaksana kebijakan. Akibatnya, timbul ketidakpastian jumlah unit rusunawa dan subyek penerimanya.
"Kami (peneliti Ciliwung Merdeka) sendiri sempat mengalami kesulitan ketika ingin mengetahui jumlah warga yang dipindahkan ke rusunawa Rawa Bebek. Pemerintah setempat, dalam hal ini Pemerintah Kota Jakarta Selatan, tidak memberikan akses informasi terkait hal tersebut," kata Sandyawan.
 Warga dibantu petugas Satpol PP memindahkan barang-barang saat penggusuran di Bukit Duri, Jakarta, 28 September 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ganti Rugi Tak SesuaiDi awal 2017 lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara telah mengabulkan gugatan warga Bukit Duri atas surat peringatan satu (SP1) penggusuran yang dikeluarkan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Selatan. Majelis hakim menilai warga Bukit Duri sah mendiami tanah mereka secara turun temurun.
Dalam putusannya, majelis hakim PTUN meminta Kepala Satpol PP mencabut surat peringatan tersebut. Pemerintah Kota Jakarta Selatan juga diminta membayar ganti rugi kepada warga Bukit Duri.
Namun hingga saat ini, belum ada tindakan nyata dari Pemprov DKI Jakarta maupun Pemkot Jakarta Selatan untuk memulihkan hak-hak warga Bukit Duri.
"Saya tidak tahu apakah pemerintah akan memenuhi tuntutan kemenangan kami di pengadilan atau tidak. Tapi sekiranya tidak, saya kira ini jadi pembelajaran sendiri buat kami. Bahwa pejabat publik kita sudah tidak lagi dapat dipegang janjinya," kata Sandyawan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, kebijakan ganti rugi yang dibuat Pemprov DKI tidak memperhatikan prinsip negara hukum yang menghormati hak-hak warganya.
"Seharusnya, manusia selalu menjadi kriteria utama dalam menilai setiap proses pembangunan. Sementara yang dilakukan oleh Pemprov DKI, dengan mengambil tanah secara paksa, tanpa ganti rugi yang pantas, telah bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab," ujarnya.
Di sisi lain, Pemprov DKI selalu berkilah bahwa tanah di pinggir kali adalah milik Dinas Sumber Daya Air. Hal itu dibantah Sandyawan.
"Tanah-tanah di pinggir kali milik warga. Faktanya mereka punya bukti kepemilikan. Tanah mereka diakui oleh BBWSCC dan dinyatakan dalam analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) proyek normalisasi Sungai Ciliwung," ujarnya.
Dia menegaskan, secara aturan hukum, warga Bukit Duri tidak kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Dengan demikian ganti rugi atas tanah harus ditetapkan sesuai nilainya.